Senin, 02 Februari 2015

MAKALAH ADMINISTRASI PUBLIK DALAM RANGKA GOOD GOVERNANCE


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Ketika Soeharto lengser dari kursi kepresidenan pada bulan Mei 1998, ada harapan untuk terjadinya perubahan yang mendasar dalam kepemerintahan (Governance) di Indonesia. Salah satu isu mencuat selama tahun-tahun terakhir pemerintahan Soeharto adalah mewabahnya korupsi yang tidak hanya melibatkan Soeharto dan keluarganya, tetapi juga seakan telah merasuk sampai tingkat terendah dan semakin terang-terangan. Pelayanan Publik, di semua level, betul-betul sangat berpengaruh, banyak terjadi misalokasi dana, sementara intensif untuk memberikan pelayanan publik yang baik nyaris tidak ada. Kondisi ini membentuk kultur administrasi yang birokratis, dimana sangat sedikit atau tidak ada dorongan untuk melaksanakan reformasi dan perubahan: sebaliknya, perilaku birokrasi banyak diwarnai sikap asal bapak senang. Banyak, kalau tidak nyaris seluruh pegawai negeri dan politikus ditingkat lokal selama masa pemerintahan Soeharto hidup nyaman, menikmati kekuasaan dan materi yang cukup melimpah, yang tidak sungguh-sungguh ingin berubah. Rendahnya transparansi dan akuntabilitas, disertai paternalisme buta dan pemupusan inisisatif lokal mengarah pada situasi ketidakpercayaan yang mendalam dari kalangan warga terhadap lembaga publik. Yang paling serius adalah adanya fakta bahwa masyarakat tidak mempercayai institusi-institusi yang mestinya bertujuan untuk menjaga hukum dan ketertiban, yaitu polisi, pengadilan, dan adminstrasi publik.
Memang tugas yang tidak mudah untuk mengubah sebuah sistem yang begitu mendarah daging. Mengubah suatu birokrasi dari yang biasa bekerja secara hierarkis menjadi birokrasi yang responsif terhadap rakyat dan atau wakilnya yang terpilih, nampaknya masih merupakan proses yang lambat dan sulit. Belajar dari sejarah kelembagaan dan budaya politik di Indonesia kiranya sulit unutuk mengharapkan terjadinya reformasi di sektor publik kalau kita berharap itu akan terjadi dengan sendirinya dari dalam, dari aparat itu sendiri. Terlalu besar risiko dan terlalu sedikit penghargaan bagi aparat-aparat publik untuk melaksanakan inovasi. Reformasi sektor publik di Indonesia tampaknya harus diprakarsai oleh pihak luar, memalui tekanan-tekanan dari civil society dan reformasi politik melalui anggota legislatif dan partai politik. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan memenangkan “hati dan pikiran” masyarakat. Penggunaan paksaan dan janji-janji kosong hanya akan menimbulkan pengasingan dan apatisme. Pelatihan profesional yang diselenggrakan oleh lembaga-lembaga donor semenjak era 1980-an dan 1990-an, sepertiya kecil pengaruhnya terhadap perubahan, karena situasinya kembali tergantung kepada individu dan lembaganyanya memang tidak beritikad untuk melakukan perubahan. Kondisi yang mendukung untuk terjadinya perubahan tidak tersedia.
Oleh karena itu, penyeleggaraan administrasi publik-yang merupakan kunci untuk terlaksanakan demokrasi lokal-pada awalnya bisa jadi segan untuk mendukung desentralisasi yang demokratis. Rasanya sangatlah perlu keikutsertaan dalam pendidikan politik, yang akan menjelaskan bahawa keberlanjutan pemerinntahan hanya dapat dicapai melalui administrasi yang transparan, yang mengarah pada peran masyarakat yang lebih tinggi serta tingkat penerimaan masyarakat yang lebih baik atas berbagai rencana pemerintah.
Isu governance mulai memasuki arena perdebatan pembangunan di Indonesia didorong adanya dinamika yang menuntut perubahan-perubahan di sisi pemerintah maupun di sisi warga. Ke depan pemerintah dan pemimpin politik di negara ini diharapkan menjadi lebih demokratis, efisien dalam penggunaan sumber daya publk, efektif menjalan fungsi pelayanaan publik, lebih tanggap serta mampu meyusun kebijakan, program dan hukum yang menjamin hak asasi dan keadilan sosial. Sejalan dengan harapan baru terhadap peran memilki kesadaraan akan hak dan kewajibannya, lebih terinformasi, memiliki solidaritas terhadap sesama, bersedia berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan urusan publik, memiliki kemampuan untuk berurusan dengan pemerintah atau institusi publik lainnya, tidak apatis, serta tidak memetingkan diri sendiri. Adanya perubahan di sisi pemerintah dan warga seperti tersebut diatas, berarti adanya perubahan dalam pola governance.
B.     Rumusan Masalah
Dalam tugas ini saya memiliki empat rumusan masalah, yaitu :.
1.    Bagaimanakah sebenarnya konsep dari good governance?
2.    Bagaimana untuk membangun prasyarat good governance?
3.    Apa saja prinsip-prinsip pokok good governance?
4.    Bagaimana pelayanan publik (administrasi publik) dalam konsep good governance?
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu:
1.    Untuk lebih mengetahui dan memahami lebih mendalam dan jauh tentang tata pemerintahan yang baik (Good Governence).
2.    Sebagai bahan bacaan dan referensi mengenai tata pemerintahan yang baik.
3.    Memberikan gambaran tata pemerintahan yang baik pada sektor publik khususnya di Indonesia.
4.    Menyajikan bagaimana penerapan penyelenggaraan governance yang lebih baik di Indonesia.
D.    Manfaat
Hasil dari penulisan makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat, yaitu:
a.       Bagi mahasiswa, sebagai bahan acuan dan persiapan dalam menghadapi pemerintahan Indonesia ke depan sesuai dengan prinsip “good governance”.
b.      Bagi masyarakat luas, sebagai bahan bacaan dalam mengambil sikap terhadap pemerintahan yang berlangsung.



                               

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Good Governance
Governance diartikan sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya dan memecahkan masalah-masalah publik. Dalam konsep governance, pemerintah hanya menjadi salah satu aktor dan tidak selalu menjadi aktor paling menetukan. Implikasinya, peran pemerintah sebagai pembangun maupun penyedia jasa pelayanan dan infrastruktur akan bergeser menjadi badan pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain di komunitas dan sektor swasta untuk ikut aktif melakukan upaya tersebut. Governance menuntur redefinisi peran negara, dan itu berarti adanya redefenisi pola pada peran warga. Ada tuntunan yang lebih besar pada warga, antara lain untuk memonitor akuntabilitas pemerintahan itu sendiri.
Secara terminologis governance dimengerti sebagai kepemerintahan, sehingga masih banyak yang beranggapan bahwa governance adalah sinonim government. Interpretasi dan praktik-praktik governance selama ini memang banyak mengacu pada perilaku dan kapasitas pemerintah, sehingga good governance seolah-olah tomatis akan tercapai apabila ada good government. Berdasarkan sejarah ketika istilah governance pertama kali diadopsi oleh para praktisi dilembaga pembangunan internasional, konotasi governance yang dugunakan memang sangat sempit dan bersifat teknokratis di seputar kinerja pemerintah yang efektif: utamanya yang terkait dengan manajemen publik dna korupsi. Oleh sebab itu, banyak kegiatan atau program bantuan yang masuuk dalam kategori governance tidak lebih dari bantuan teknis yang diarahkan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah dalam menjalankan kebijakan publik dan mendorong adanya pemerintahan yang bersih (menghilangkan korupsi).
Sejatinya konsep governance harus dipahami sebagai sebagai suatu proses, bukan struktur atan institusi. Governance juga menunjukan inklusivitas. Kalau government dilihat sebagai “mereka” maka governance adalah “ kita”. Menurut Leach & Percy-Smith (2001), government mengandung pengertian politisi dan pemerintahan yang mengatur, melakukan sesuatu, memberikan pelayanan, sementara sisa dari ‘kita’ adalah penerima yang pasif. Sementara governance meleburkan perbedaan antara “pemerintah” dan “yang diperintah”, kita semua adalah bagian dari proses governance.
Istilah good governance saasi ini menjadi sangat “trendi”. Walaupun wacana governance dalam pembangunan, sebagaimana wacana demokrasi, relatif baru bagi bangsa Indonesia, istilah tersebut cepat sekali populer. Ada yang menerjemahkan good governance sebagai “kepemerintahan yang prima” atau “tata pemeritahan yang baik”. Dan good governance mengandung arti hubungan yang sinergis dan kontruktif diantara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Dalam hal ini adalah kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalistas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efesiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan daat diteriman oleh seluruh masyarakat.
United Nations Development Program (UNDP) membuat definisi yang lebih ekspansif, governance meliputi pemerintah, sektor swasta dan civil society serta interaksi antar-ketiga elemen tersebut. Dalam dokumen kebijakannya, UNDP lebih jauh menyebutkan ciri-ciri good governance, mengikut sertakan semua, transparan dan bertanggung jawab, efektif dan adil, menjamin adanya supremasi hukum, menjamin prioritas-prioritas politik, sosial dn ekonomi didasarkan pada konsensus masyarakat, serta memperhatikan kepentingan mereka yang paling miiskin dan lemah dalam proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan.[1]
Governance  yang baik hanya tercipta apabila dua kekuatan saling mendukung: warga yang bertanggung jawab, aktif dan memiliki kesadaran, bersama dengan pemerintah yang terbuka, tanggap, mau mendengar, mau melibatkan (inklusif). Inilah basis tatanan masyarakat yang diidamkan.[2]

2.      Membangun Prasyarat Good Governance
Proses pengambilan keputusan publik dengan gaya lama, yang memberikan pemerintah peran sentral dalam mengotrol dan mengelola sumber daya pembangunan dan tidak memberikan banyak ruang (akses) kepada masyarakat untuk terlibat merumuskan persoalan yang mereka hadapi dan memutuskan apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya, akan diganti dengan proses yang baru yang lebih partisipori. Supaya pertemuan ini berlangsung baik (demokratis) dan menghasilkan keputusan yang adil dan memuaskan semua pihak, ada berbagai prasyarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Dengan pertimbangkan sistem sosial yang ada serta kondisi praktik-praktik governance yang berlangsung saat ini, beberapa elemen strategis yang dituntut dalam penyelenggaraan governance yang lebih baik di Indonesia antara lain:
a.    Tipe Kepemimpinan Baru
Redifinisi peran pemerintah menuntur adanya tipe kepemimpinan yang baru. Berbagai litertur tentang “perubahan” menyebutkan pentingnya leadership sebagai salahsatu penentu kesuksesan. Dalam mewujudkan good governance, pimpinan daerah (eksekutif san legislatif) maupun pimpinan masyarakat (tokoh-tokoh informal, adat) memegang yang sangat penting sebagai pendorong atau penghambat perubahan. Kata kunci yang penting dari kepemimpinan yang baru ini adalah visionary dan trustworthy. Idealnya, seorang pemimpin harus memilki visi dan dapat dipercaya.
b.      Kekuatan Civil Society
Elemen penting lain dari penyelenggaraan good governance adalah adanya posisi tawar warga terhadap pemerintah dalam rangka penyelenggaran publik. Kesetaraan adalah prasyarat dari berbagai interaksi yang sehat. Pengorganisasian warga, pembentukan jaringan kerja antar civil society organizations adalah beberapa dari langkah kecil yang penting untuk mengkonsolidasikan civil society sebagai kekuatan penyeimbang dari pemerintah. Keterbukaan yang diberikan oleh model governance yang baru harus di imbangi dengan kemampuan civil society dalam merumuskan permintaan kolektif, menciptakan representasi dan berbagai interest yang ada di masyarakat dan meresolusi konflik-konflik yang muncul.
c.       Kemampuan Teknis dan Manajemen
Berbagai studi tentang implementasi suatu perubahan menyebutkan kemampuan teknis dan manajemen sebagai faktor pembentuk hasil dari suatu kebijakan atau program. Bagaimana proses perencanaan dan penganggaran dirumuskan, bagaimana pengorgniasian dan pelaksanaannya, maupun proses pengendalian dan pengawasan yang dijalankan merupakan cermin dari kemampuan teknis dn manajemen urusan publik. Perubahan yang diharapkan dalam mewujudkan good governance menuntut adanya desentralisasi dalam pengambilan keputusan, adanya pengerutan jumlah pegawai disektor publik dan tuntunan yang lebih dasar terhada akuntabilitas dalam penyelenggaran urusan publik.
d.      Ruang Partisipasi
Situasi ketiadaan komunikasi yang terbuka dan bersifat dua arah perlu diubah menjadi situasi yang lebih terkoordinir, deliberatif dan menunjukkan adanya hubungan kesetaraan. Pembentukan forum stakeholders, adanya jaringan kerja sama ornop dan civil society organizations lainnya, maupun koordinasi kerja antar instansi pemerintahan adalah hal-hal yang mmendorong terciptanya mekanisme interaksi dan partisipasi stakeholders. Peran media massa untuk mendorong adanya komunikasi dan ruang partisipasi yang lebih sehat juga merupakan bagaian yang penting dalam mewujudkan good governance.[3]
3.      Prinsip-prinsip Pokok Good Governance
Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental dalam good governance yang harus diperhatikan yaitu:
a.      Partisipasi (participation)
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yaitu kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif.
b.       Penegakan Hukum (rule of law)
       Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan hukum dan penegakannya secara konsekuen, partisipasi publik dapat berubah menjadi tindakan publik yang anarkis. Santoso menegaskan bahwa proses mewujudkan cita-cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan rule of law dengan karakter-karakter sebagai berikut :
1)      Supremasi hukum
2)      Kepastian hokum
3)      Hukum yang responsitif
4)      Penegakan hukum yang konsisten dan non diskriminatif
5)      Independensi peradilan.
c.        Transparansi (transparency)
         Transparansi (keterbukaan umum) adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good governance. Akibat tidak adanya prinsip transparansi ini, menurut banyak ahli Indonesia telah terjerembab dalam kubangan korupsi yang berkepanjangan dan parah. Untuk itu, pemerintah harus menerapkan transparansi dalam proses kebijakan publik. Menurut Gaffar, terdapat 8 (delapan) aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara transparan, yaitu
1)      Penetapan posisi, jabatan dan kedudukan
2)      Kekayaan pejabat publik
3)      Pemberian penghargaan
4)      Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan
5)      Kesehatan
6)      Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik
7)      Keamanan dan ketertiban
8)      Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat
d.       Responsif (responsive)
       Pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakat-masyarakatnya, jangan menunggu mereka menyampaikan keinginannya, tetapi mereka secara proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat, untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum.
e.        Konsesus (consesus)
       Prinsip ini menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah melalui konsesus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat memuaskan sebagian besar pihak, juga akan menjadi keputusan yang mengikat dan milik bersama, sehingga akan memiliki kekuatan memaksa bagi semuakomponen yang terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut.
f.        Kesetaraan (equity)
       Clean vand good governance juga harus didukung dengan asas kesetaraan, yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua penyelenggara pemerintahan di Indonesia karena kenyatan sosiologis bangsa kita sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis, agama, dan budaya.
g.       Efektivitas dan Efisiensi
        Konsep efektivitas  dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda, yakni efektivitas dalam pelaksanan proses-proses pekerjaan, baik oleh pejabat publik maupun partisipasi masyarakat, dan kedua, efektivitas dalam konteks hasil, yakni mampu membrikan kesejahteraan pada sebesar-besarnya kelompok dan lapisan sosial.
h.       Akuntabilitas (accountability)
       Asas akuntabilitas adalah pertanggung jawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Secara teoritik, akuntabilitas menyangkut dua dimensi yakni akuntabilitas vertikal yang memiliki pengertian bahwa setiap pejabat harus mempertanggung jawabkan berbagai kebijakan dan pelaksanaan  tugas-tugasnya terhadap atasan yang lebih tinggi, dan yang kedua akuntabilitas horisontal yaitu pertanggungjawaban pemegang jabatan publik pada lembaga yang setara.

i.         Visi Strategis
       Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang. Tidak sekedar memiliki agenda strategis untuk masa yang akan datang, seseorang yang memiliki jabatan publik atau lembaga profesional lainnya, harus memiliki kemampuan menganalisa persoalan dan  tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya.[4]
       Menurut Institute on Governance (1996), sebagaimana dikutip Nisjar (1997), untuk menciptakan good governanace perlu diciptakan hal-hal berikut:
a.      Kerangka Kerja tim  (team work) antarorganisasi, deparetemen, dan wilayah
b.      Hubungan kemitraan antar pemerintah dengan setia unsur dalam masyarkat negara yang bersangkutan
c.       Pemahaman dan komitmen terhadap manfaat dan arti pentingnya tanggung jawab bersama dan kerjasama dalam satu keterpaduan sinergisme dalam pencapaian tujuan.
d.      Adanya dukungan dan sistem imbalan yang memadai untuk mendorong terciptanya kemampuan dan keberanian menaggung risiko (risk taking) dan berinisiatif, sepanjang hal ini secara relistik dapat dikembangkan.
e.      Adanya pelayanan administrasi publik dan bersahabat yang berorientasi pada masyarkat, mudah dijangkau masyarkat dan bersahabat, berdasarkan kepada asas pemerataan dan keadilan dalam setipa tindakan dan pelayanan kepada masyarkat, berfokus pada kepentingan masyarakat, bersikap profesional, dan tidak memihak (non-partisan).[5]
4.      Pelayanan Publik Dalam Konsep Good Governance
Pengelolaaan dan pengembangan pelayanan publik dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat menjadi satu tugas bagi setiap pemerintah daerah. Terlebih lagi pelayaan publik menjadi primadona bagi daerah-daerah guna menciptakan kesejahteraan masyarakat dan pencapainan Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya. Berbagai terobosan kebijakan pun gencar dilakukan demi dan untuk meningkatkan Permasalahan mengenai pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi pemerintah. Menurut Agus Dwiyanto,[6] bahwa pelayanan publik selama ini telah menjadi ranah dimana negara yang diwakili oleh pemerintah berinteraksi langsung dengan pihak nonpemerintah. Dalam ranah ini telah terjadi pergumulan yang sangat intensif antar pemerintah dan warga, dan baik dan buruknya dalam pelayanan publik sangat dirasakan oleh masyarakat. Ini sekaligus membuktikan, jika terjadi perubahan signifikan dalam pelayanan publik dengan sendirinya manfaat dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Keberhasilan dalam mewujudkan praktik good governance dalam pelayanan publik mampu membangkitkan dukungan dan kepercayaan masyarakat.[7]
Untuk itu pemerintah menuntut untuk lebih efektif, inovatif, dan cerdas tentang yang mana yang harus dilakukan dan diprioritaskan, selain juga mampu membedakan antara yang urgen dan yang tidak perlu dilakukan dengan pertimbangkan keterbatasan sumber daya, menghemat  dan menambah aset publik melalui investasi publik dengan tidak membebani mereka.[8]
Semestinya pelayanan merespon pada kepentingan dan kebutuhan publik, dengan mengubah paradigma dari pelayanan yang sifatnya sentralistik menuju pelayanan yang lebih pemberikan kepuasaan.
Sejak bergulirnya reformasi upaya penataan, pembahararuan, dan pembenahan budaya penyelenggaraan pemerintah terus dilakukan peyalanaan khususnya dalam hal administrasi publik. Kebijakan ini dilakukan untuk mengubah citra aparatur yang sebelumnya dipandang lamban dan tidak tranparan.
Selain mengubah citra aparatur dan dilakukannya efesiensi birokrasi, langkah berikutnya untuk mewujudkan good governance pelayanan publik (administrasi publik) adalah adanya efektivitas dan efesiensi pelayanan publik (administrasi publik).
Secara sederhana efektivitas dapat diartikan sebagai tepat sasaran yang juga lebih diarahkan pada aspek kebijakan. Artinya, program pembangunan yang akan dan sedang dijalankan atau ditujukan untuk perbaikan kualitas hidup rakyat yang benar-benar diperlukan guna meningkatkan produktivitas rakyat sehingga berdampak pada meningkatnya investasi pubik dalam bidang ekonomi dan sosial. Efektivitas fokus kepada tingkat pencapaian terhadap tujuan dari organisasi publik.[9]
Faktor-faktor yang menyumbang efektivitas organisasi dirinci dalam beberapa karakteristik:[10]
a.       Karakteristik organisasi yang meliputi struktur dan organisasi
b.      Karakteristik lingkungan yang memiliki kondisi lingkungan internal dan eksternal
c.       Karakteristik pekerja yang meliputi keterikatan pada organisasi pada organisasi dan prestasi kerja
d.      Karakteristik kebijakan praktik manajemen yang meliputi penyusunann rencana strategis dan proses komunikasi
Efesiensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan tercapainya perbandingan terbaik antara masukan dan keluaran dalam penyelenggaran pelayanan publik.
Dalam kaitanya dengan penyelenggaran pelayanan publik tentunya keterlibatan dan kerjasama semua stakeholder dalam hal ini pemerintah, masyarakat, dana pihak swasta harus ditumbuhkembangkan secara berkesinambungan, sehingga pada akhirnya diharapkan praktik pelayanan publik dapat memenuhi nilai –nilai yang diisyaratkan dalam implementasi good governance.[11]
















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Good governance bermakna tata kepemerintahan yang baik” atau “kepemerintahan yang prima”.
Good govermnance mengandung arti hubungan yang sinergis dan kontruktif diantara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Dalam hal ini adalah kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalistas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efesiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan daat diteriman oleh seluruh masyarakat. UNDP menyebutkan ciri-ciri good governance, mengikut sertakan semua, transparan dan bertanggung jawab, efektif dan adil, menjamin adanya supremasi hukum, menjamin prioritas-prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan pada konsensus masyarakat, serta memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan.
2.      Membangun Prasyarat Good Governance:
Elemen strategis yang dituntut dalam penyelenggaraan governance yang lebih baik di Indonesia antara lain:
a.       Tipe Kepemimpinan Baru     
b.      Kekuatan Civil Society
c.       Kemampuan Teknis dan Manajemen
d.      Ruang Partisipasi
3.      Syarat bagi terciptanya good governance, yang merupakan prinsif dasar.
Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental dalam good governance yang harus diperhatikan yaitu
a.       Partisipasi (participation)
b.      Penegakan Hukum (rule of law)
c.       Transparansi (transparency)
d.      Responsif (responsive)
e.       Konsesus (consesus)
f.       Kesetaraan (equity)
g.      Efektivitas dan Efisiensi
h.      Akuntabilitas (accountability)
i.        Visi Strategis
4.      Pelayanan Publik Dalam Konsep Good Governance, untuk mewujudkan good governance pelayanan publik (administrasi publik) yaitu: mengubah aparatur (dilakukannya efesiensi birokrasi) dan harus adanya efektivitas dan efesiensi pelayanan publik (administrasi publik).
B.     Saran
1.      Walaupun good governance dikita belum tercapai tetapi kita harus terus mendukung dan terlibat kerjasama dengan pemerintah atau sektor swasta untuk tercapainya good governance sendiri.
2.       Pemerintah perlu menyusun Standar Pelayanan bagi setiap institusi di daerah yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat
3.      Pemerintah sebagai pelayan publik perlu mengupayakan untuk menekan sekecil mungkin terjadinya kesenjangan antara tuntutan pelayanan masyarakat dengan kemampuan aparatur pemerintah untuk memenuhinya
4.      Pemerintah harus mampu mendorong kompetisi antar pemberi jasa; Memberi wewenang kepada warga; Mengukur kinerja perwakilannya dengan memusatkan pada hasil, bukan masukan; Digerakkan oleh tujuan/missi, bukan oleh peraturan; Menempatkan klien sebagai pelanggan dan menawarkan kepada mereka banyak pilihan; Lebih baik mencegah masalah ketimbang hanya memberi servis sesudah masalah muncul; Mencurahkan energinya untuk memperoleh uang, tidak hanya membelanjakan; Mendesentralisasikan wewenang dengan menjalankan manajemen partisipasi; Lebih menyukai mekanisme pasar ketimbang mekanisme birokratis; Memfokuskan pada mengkatalisasi semua seKtor – pemerintah, swasta, dan lembaga sukarela – kedalam tindakan untuk memecahkan masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Fauzur_Rahman.MakalahGoodGovernence.Website:http://fauzurr.blogspot.com/2012/07/makalah-good-governance.html. diunduh: 1 April 0014
M. Steers, Richard. 1985. Efektivitas Organisasi. Jakarta: Erlangga.
Nurmandi, Ahmad. 2006. Manajemen Perkotaan, Aktor, Organisasi, Pengelolan Daerah Pekotaan dan Metropolitan di Indonesia. Yogyakarta: Sinergi Publishing.
Novita Tresna. Efektivitas, Efesiensi Organisasi Publik versus Optimalisasi Pelayanan Publik. Website: www.domaindlx.com.
Ridwan, Juniarso dan Achmad Sodik Sudrajat. 2009.  Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan pelayanan Publik. Bandung: NUANSA.
Santoso, Pandji.. 2008. Administrasi Publik - teori dan aplikasi good governance. Bandung: Refika Aditama.
Sj. Sumarto, Hetifah . 2009. Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.







[1]Hetifah Sj. Sumarto, Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), hlm.1 dan 17.
[2]Ibid., hlm. 3.
[3] Hetifah Sj. Sumarto, op.cit., hlm. 83.
[5]Pandji Santoso.. Administrasi Publik-teori dan aplikasi good governance. (Bandung: Refika Aditama, 2008) hlm.132.
[6]Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, (Yogyakarta: Gajah mada University Press, 2005), hlm. 20.
[7]Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan pelayanan Publik, (Bandung: NUANSA, 2009), hlm. 83.
[8]Novita Tresna, Efektivitas, Efesiensi Organisasi Publik  versus Optimalisasi Pelayanan Publik, Website: www.domaindlx.com
[9]Ahmad Nurmandi, Manajemen Perotaan, Aktor, Organisasi, Pengelolan Daerah Pekotaan dan Metropolitan di Indonesia, (Yogyakarta: Sinergi Publishing, 2006), hlm.269.
[10]Richard M. Steers, Efektivitas Organisasi, (Jakarta: Erlangga, 1985), hlm. 8.
[11] Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, op.cit., hlm. 88

Tidak ada komentar:

Posting Komentar