Sabtu, 11 Oktober 2014

MAKALAH MACAM-MACAM HUKUM


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hukum merupakan suatu tatatertib yang secara langsung maupun tidak langsung ada disekitar kita dan harus dipatuhi keberadaannya. Negara Indonesia yang notabenenya sebagai Negara hokum harus mampu menjunjung tinggi masyarakatnya agar sadar akan hukum yang berlaku dilingkungan masyarakat,wilayah maupun Negara.
Tidak setiap masyarakat mengetahui tentang hukum dan macam-macam pembagian hukum di negaraini.Untukitu kami akan mencoba menjabarkan tentang macam-macam pembagian hukum di Indonesia agar kiranya dapat menjadi individu-individu yang patuh dan taat kepada hukum. Pengelompokkan hukum di Indonesia yang begitu padat dan tak jarang bagi kita merasa malas dalam mempelajari dan membaca, kini melalui makalah yang sederhanaini kami harapkan dapat menghilangkan kemalasan itu dan dapat bermanfaat bagi kita semua.

B.     Latar Belakang
1.      Ada berapa macam-macam hukum?
2.      Apasaja Pengertian dari macam-macam hukum?

C.    Tujuan dan Manfaat
1.      Mengetahui macam-macam hukum
2.      Mengetahui Apa saja pengertian dari macam-macam hukum




BAB II
PEMBAHASAN
MACAM-MACAM HUKUM DI INDONESIA
A.    Hukum Tata Negara
Ahli hukum Belanda, Schotten mengemukakan, bahwa:
“Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi dan pada negara.[1]
Sedangkan M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengemukakan:
“Hukum Tata Negara sebgai sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi daripada negera, hubungan antar alat perlengkapan negara dlam garis vertikal dan horizontal, serta kedudukan warga negaranya dan hak-hak asasinya.No index entries found.[2]
Dalam hukum tata negara diatur tentang tujuan negra, bentukk negara, bentukpemerintahan negara, lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara, hubungan lembaga-lembaga  egara, wilayah negara, rakyat dan pendudu negara, hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara, dan sebagaunya yang sangat luas.[3]
Dasar-dasar ketatanegaraan Indonsia termuat dalam undang-undan Dasara 1945 yang mulanya terdiri dari 37 pasal ditambah dengan empat pasla Aturan Peralihan dan dua ayat Aturan Tambahan, setelah empat kali diamandemen menjadi 73 pasal ditambah tiga pasal Aturan Peralihan  dan dua pasal Aturan Tambahan.[4]Meskipun demikian rangkaian pasal-pasal UUD 1945 setelah diamandemen tersebt teta mengandung semnagat dan merupakan perwujudan dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, jug merupakan rangkainesatuan pasal-pasal yang bulat dan terpadu. Didalamnya berisi materi yang pada dasarnya dapat dibedakan dalan dua bagian, yaitu:
a.       Pasal-pasal yang berisi materi pengukuran sistem pemerintahn negara didalamnya termasuk pengaturan tentng kedudukan, tugas, wewenang, dan saling hubungannya dari kelembangan negara.
b.      Pasal-pasal yang berisi materi hubungan negara dengan warga negara dan penduduknya serta berisi konsepsi negara diberbagai bidang: politik, ekonomi, sosial-budaya, hankam, dan lain-lain, kearah ana negera, bangsa, dan rakyat indonesia akan bergerak mencapai cita-cita nasoinalnya.

B.     Hukum Administrasi Negara (hukum Tata Usaha Negara)
Kusumadi Pudjosewojo, mendefinisikan:
“Hukum tata usaha negara dlah sebgai keseleuruhan aturan hukum yang menentukan cara bagmana negara sebagai penguasa itu menjalankan usaha-usaha untuk memenuhi tugas-tugasnya, atau cara bagaimana penguasa itu seharunya bertingkah laku dalam mengusahakan tugas-tugasnya.[5]
Menurut Kansil dalam bukunya Pengantar  Ilmu Hukum dan Tata Negara Indonesia, bahwa:
“Hukum Tata pemerintahan ialah hukum mengenai aktivitas –aktivitas kekeuasan eksekutif (kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang).[6]
Adboel dalan bukunya Pengantar Hukum Indonesia menyatakan:
“Hukum Adminstrasi negara sebaga peraturan hukum yang mengatur admnistrasi, hubungan antar warga negara pemerintahan yang menjadi sebab samapi negraa itu berfungsi. Maksudnyaa, merupakan gabungan petugas secara struktural berada dibawah pimpinan pemerintahan yang melksanakan tugas sebagai bagiannya, yaitu bagian dari pekerjaan yang tidak ditujukan kepada lembaga legislatif, yudikatif dan atau lembaga pemeritahan aerah otonomi (mengurus daerah sendiri).[7]
Hukum tata negara dan hukum administrasi negara mempunyai hubungan yang erat, yang tidk diisahkan satu sama lain. Prof.Mr. WG. Vegting dalam bukunya Het Algemeen Nederland Administratiefrecht / sebagaimana dikutip Abdoel Djamali dalam Pengantar Ilmu Hukum, mengemukakan, bahwa:
“hukum tata negara dan hukum administrasi negara mempelajari suatu bidang peraturan yang sma, tetapi cara pendekatan yang dopergunakan berbeda. Ilmu hukum tata negara bertujuan mengethui tentang organisasi negara dan pengorganisasian alat-alat perlengkapan negara, sedangkan ilmu administrasi negara bertujuan mengetahui tentang caratngkah laku negara dn alat-alat perlengkapan negara. Jadi, objek hukum tata negara intu mengenai maslah fundamenta organisasi negara, sedangkan hukum admnistrasi negara objeknya mengenai pelaksanaan teknik dalma mengelola negara.”
Sementara itu, van Vollenhoven dalam bukuny. Thobecke en het Administratiefrecht mengemukakan bahwa:
“Disatu pihak hukum tata negara sbagai suatu kumpulan peraturan hukum mengdakan lembaga-lembaga yang memberikan kekuasaan kepadanya melalui pembagian pekerjaan dari lembaga tertinggi samapai yang terendah, di lain pihak terdapat hukum administrasi negra sebagai kumpulan peraturan yang mengikat lembaga-lembaga itu dalam menggunkan kekuasaannya yang telah diberikan hukum tata negara.”[8]
C.    Hukum Acara
Hukum acara bisa juga disebut hukum formil, yaitu hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditegakkannya atau dipertahankannya hukum materiil.hukum acara dapat dibagai atara tiga macam yaitu: hukum acara pidana, hukum acara perdata, hukum acara tata usha negara.
Hukum acara pidana adalah hukum yang mngatur bagaimana caranya menegakkan atau memperthankan hukum pidana materiil (yang lazim disebut “hukum pidana). Jadi, hukum acara pidana memuat aturan-aturan tentang bagaimana caranya menerapkan hukum pidana terhada perkara-perkara pidana. Dalam hukum acara pidana diatur segala sesuatu tentang proses pemeriksaan perkara pidana pada semua tingkatan pemeriksaan: di kepolisian, di kejaksaan, maupun di pengadilan.
Di indonesia sekarag sudah ada hukum acara pidana nasional, sebagimana termuat dalam UU No.8 Tahun 1981 tantang Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain itu, terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan sebagai hukum acara pidana untuk tindak pidana khusus, seperti tindak pidana khusus, subversi, dan sebagainya.
Hukum acara perdata adlah hukum yang mengatur bagaimana caranya menegakkan atau mempertahankan hukum Perdata materiil (yang lazim disebut hukum perdana). Jadi, hukum acara perdata memuat aturan-aturan bagaimana acaranya menerapkan hukum perdata terhadap perkata-perkara perdata. Perkata-perkara perdata terjadi kareana adanya pelanggaran terhadap hukum perdata, yang menimbukan kerugan terhadap hak-hak perdata. Dalam hukum acara perdata dimuat aturan-aturan yyang arus diindahkan dalam proses pemeriksaan perkara perdata.
Hukum aacra perdata dapat dibedakan menjadi  2 yaitu hukum acara perdata yang berlaku  di pengadilan dalam lingkunan badan pengadilan umum dan hukum acara perdata yang berlaku di pengadilan dalam lingkungan peradian agama. Baik hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum maupun  hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan agama, hingga kini masih belum terhimpun dalam satu kodifikasi hukum acara nasional, tetapi terserak-serak dalam berbagai peraturan perundangan-undangan, sebagian penginggalan kolonial Blanda, sebagian lainnya dibuat setelah merdeka.
Hukum acara perdata lingkungan peradilan umum yang berlaku di Indonesia sekarang antara lain termuat:
a.       Herziene Inlandsch Reglemen (Reglemen Indonesia Baru) yanag berlaku untuk daerah Pulau Jawa dan Madura;
b.      Regchtreglemen voor de Buitengewesten ( Regemen untuk daerah Seberang) yang berlaku untuk daerah luar Pulau Jawa dan Madura;
c.       Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29 tentang Kekuatan Pembuktian Tulisantulsn di Bawah Tangan Orang Indonesia (Bumiputra);
d.      Uudang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan penundaan pembayaran kewajiban membayar utang;
e.       Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Perdilan Ulangan di Jawa dan Madura;
f.       Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;[9]
g.      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
h.      Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009
i.        Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Advokat; dan
j.        Yurisprudensi-yurisprudensi Mahkamah Agung
Sedangkan hukum acara perdata yang berlaku dilingkungan perdilan agama sekaraang ini adlah ukum acara perdata yang beraku pada pengadilan dalam lingkunan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor t Tahun 1989 tentang eradilan Agma. Hukum acara pada pengadilan dalam lingkungan perdilan agama juga terdapat dalam:
a.       Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan.
b.      Perturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
c.       Peraturan menteri agama Nomor 1 Tahun 1983 tanggal 6 Januari 1983 tentang Pemberian bantuan Hukum pada Peradilan Agama.
d.      Keputusa Bersama Ketua Mahkamah Agung Pepublik Indonesia dengan Menteri Agama Republik Indonesia tanggal 7 januari 1983 Nomor KMA/003/SK/I/1983 dan Nomor 3 Tahun 1983 tentang Pengawasan terhadapa Pemberi Bantuan Hukum dan berbagai macam peraturan peundang-undangan lain sepanjang belum diganti dengan kesatuan baru berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 serta tidak bertentangn dengan Undang-Undang Peradilan Agama tersebut.
Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkunagn Perdiln Tata Usaha Negara termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.


D.     Hukum Pemburuhan
Ahli Hukum Pemburuhan Indonesia, Imam Soepomo, dalam bukunya pengantar Hukum Pemburuhan, mendefinisikan:
“Hukum Pemburuhan sebagai suatu himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak, yang berkenaan dengan suatu kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.”[10]
Molennar berpendapat, bahwa:
“Hukum Pemburuhan adalah suatu bagan dari hukum yang berlaku pada pkoknya mngatur hubungan anatara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh, dan antara buruh dengan penguasa.”[11]
Secara umum dapat disimpukan, bahwa hukum pemburuhan itu adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hubungan-hubungan pemburuhan, yaitu hubungan anatara buruh dan majikan, serta hubungan antara buruh dan majikan dengan penguasa (pemerintah).
Beberapa peraturan perundangn-undangan yang mengatur ppemburuhan di Indonesia sekarang ini, antara lain:
a.       Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
b.      Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1951 tentang Pengawasan Pemburuhan
c.       Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
d.      Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
e.       Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
f.       Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
g.      Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

E.     Hukum Pajak
Rochmat Soemitromenyatakan:
“Hukum pajak ialah suatu kumpulan perattan-peraturan yang mnegatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sengai pembayar pajak. Dengan kata lain perkataan hukum pajak menerangkan: siapa-siapa wajib pajak (subjek), dan apa kewajiban-kewajiban mereka terhadap pemerintah, hak-hak pemerintah, objek-objek apa yang dikenkan pajak, cara penagihan, cara pengajuuan keberatan-keberatan, dan sebagainya.”[12]
Santoso Brotodihardjo berpendapat bahwa:
“Hukum pajak yang juga disebut hukum fiskal adlah keseluruhn peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarkat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang  mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang ataua badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya sering disebut wajib pajak).”[13]
Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipakskan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peratutan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembbali, yang lansung dapat ditunjuk, dan yang digunakan adlah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum terhubung dengn tugas negara untuk menyelenggarkan pemerintah.Demikian pendapat Andrani.[14]
Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pajak di Indonesia sekarang ini, antara lain adalah:
a.       Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
b.      Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasiln sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
c.       Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjuaan Barang Mewah sebagaimana telah dubah dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
d.      Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1983 tantang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor12 Tahun 1994
e.       Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006
f.       Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai
g.      Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang  Pajak Daerah dan Retrebusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
h.      Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Sura Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000
i.        Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000.




F.    Hukum Perdata
Menurut Subekti, bahwa:
“Hukum Perdana adalah segala hukum pokok yang mengatur kepentigan-kepentingan pribadi.”[15]

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengatakaan bahwa:
“Hukum Perdata adalah Hukum yang mengatur kepentingan antara warga negara perseorangan yang satu dengan warga negara perseorangan yang lain.”[16]
Oleh karena itu, secara umum dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dngan hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dan orang yang lain di dalam masyarakat yang menitikberatkan pada kepentingan persorangan (pribadi).
Kendatipun demikian, tidk berarti semua hukum perdata tersebut secara murni mengatur hubungan hukum mengenai kepentingan pribadi. Akan tetapi, keren perkembangan masyarakat, banyak bidang hukum perdata yang telah diwarnai sedemikian rupa oeh hukum publik, sehingga juga mengatur hubungan hukum yang menyangkut kepentingan umum, seperti hukum perkawinan, hukum pemburuhan, dan sebagainya.
Hukum perdata serig dibedakan dalam pengertian yang luas (termasuk hukum dagang) dan pengertian yang sempit (tidak termasuk hukum dagang). Istilah hukum perdata sering disebut hukum sipil dan hukum privat. Selanjutkan hukum perdata ini yang tertuis dan ada yang tiak tertulis. Hukum perdata yanga tertulis ialah hukum perdata yang termuat dalam Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) maupun peraturan perundangan-undangan lainnya. Sedangkan hukum yang tidak tertulis ialah hukum adat, yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Burgerlijk Wetboek (BW) berlaku bagai warga negara Indonesia keturunan Eropa, Timur Asing Tioghoa, dan Timur Asing bukan Tionghoa (seperti orang Arab, India, Pakistan), kecuali hukum keluarga dan hukum waris, meraka (Timur Asing bukan Tionghoa) tunduk pada hukum adat mereka masing-masing. Sedangkan hukum adat, merupakan hukum perdata yang berlaku bagi warga negara Indonesia asli.
Dengan demikian, hukum perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih bersifat duaalisme bahkan pluralisme pluralistis, kecuali bidang-bidang tertentu yang sudah ada unifikasi. Seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Agreria, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004.
G.    Hukum Dagang
Hukum dagang adalah hukum perdata khusus. Karena itu, ada sarjana yang dirumuskan hukum dagang sebagai hukum yang mengatur hubungan privat “istimewa” anata orang-orang sebagai anggoota masyarakat atau antara orang-orang sebagai anggota masyarkat dengan suatu badan hukum, diantaranya pemerintahnya sebagai badan hukum.[17]S
Achmad Ichsan dalam bukuny Hukum Dagang menyatakan, bahwa:
“Hukum Dagang adalah hukum uang mengatur soal-soal perdagangan/perniagaan, ialah soal-soal yang timbul karena tingkah laku manusia (persoon) dalam perdagangan/perniagaan.”[18]
     Selanjutnya, apabila dihubungkan dengan “isi” daari pengetian perdagangn, hukum dagang/perniagaan ini mengatur ketentuan-ketentuan mengenai:
a.       Hubungan hukum antara produsen satu sama lain, produsen dengan konsumen yang meliputi, antara lain: pembelian dan penjualan serta pembuatan perjanjian.
b.      Pemberian “perantaraan” anatra mereka yang terdapat dalam-dalam tugas-tugas makelar, komisioner, pedagang keliling, dan sebagianya.
c.       Hubungan hukum yang terdapat dalam:
1)      Bentuk-bentuk asosiasi perdagangan, seperti Perseroan Terbatas (PT=NV), perseroan Firma (VOF), dan sebagianya.
2)      Pengangkutan di darat, laut, dan udara serta pertanggungan asuransi yang berhubungan dengan pengangkatan dan jaminan keamanan dan risiko pada umumnya;
3)      Penggunaan surat-surat niaga (handelspapieren), seperti wesel, cheque, askep dan sebagainya untuk mempermudah pembayaran dan emberian kredit.[19]
Atas dasar ini maka hukum dagang meliputi:
a.       Hukum bagi pedagang antara;
b.      Hukum perserikatan;hukum transport/angkutan;
c.       Hukum asuransi dan khususnya dalan hal ini hukum laut;
d.      Hukum surat-surat niaga/surat-surat berharga.[20]
Sampai saat ini Indonesia masih belum mempunyai hukum dagang nasional, sehingga masih tetap mempengaruhi hukum dagang warisan kolonial pemerintah Hindia Belanda, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van koophandel-WVK). Meskipun demikian, Indonesiasudah mempunyai beberapa produk hukum nasional di lapangan perdagagangan, misalnya:
a.       Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Miik Negara;
b.      Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
c.       Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang Indonesia;
d.      Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian;
e.       Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan;
f.       Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayanan;
g.      Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoprasian;
h.      Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
i.        Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
j.        Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
k.      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan;
l.        Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta;
m.    Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1983 tentang Perbankan;
n.      Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
o.      Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
p.      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten;
q.      Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.




H.  Hukum Pidana
Hukum pidana adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang merupakan akan tindak pidana dan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.
Dengan demikian, hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melainkan sudah terletak pada normalain, dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan ditaattinya norma-norma lain tersebut.[21] Norma lain itu misalnya norma agama dan kesusilaan, yang misalnya menentukan: jangan membunuh, jangan mengambil barang milik orang lain, jangan menghina orang lain, dan sebagainya.
Saat sampai ini Indonesia juga masih belum mempunyai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasiona, sehingga Kitab Undang-Undang hukum Pidana (wetboek van strafrecht) warisan pemerintahan kolonia Hindia Belanda tetap berlaku. Beberapa undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan, di antaranya:
a.       Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbit Perjudian;
b.      Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap;
c.       Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang;
d.      Undang-Undang Nomor31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;
e.       Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencurian Uang sebagimana diubah dengan Undang-Undang Nomor25 Tahun 2003;
f.       Undang-Undang Nomor15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Ketentuan-ketentuan hukum pidana selain termuat dalam Kitab Undan-Undang Hukum Pidana maupun undang-undang khusus seperti tersebut diatas, juga terdapat pada berbagai Undang-Undang di bidang Pertahanan, Pemburuhan, Perpajakan, Pertambangan, Perdagangan, Perbankan, Perasurasian, Perhubungan, Lingkungan Hidup, dan sebagainya.
I.      Hukum Internasional (Publik)
Hukum Internasional (publik) bisa juga disebut hukum antarnegara, hukum antarnegara, hukum bangsa-bangsa, hukum publik internasional, dan sebagainya, tetapi lebih lazim disebut “hukum internasional”.
Menurut Mochtar Kumusaatmadja, bahwa:
“Hukum internasional adalaha keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara (hubungan Internasional) yang buka bersifat perdata.”[22]
Sudah menjadi pendapat umum, bahwa hukum internasional pada hakikatnya bermaksud untuk mencegah timbulnya perang atau dngan perkatan lain ialah untuk mengtur hubungan-hubungan antarnegara-negara sedemikian rupa sehingga dapat dijamin ketertiban dan kedamaian di dalam masyarakat internasional.[23]
Ali Sastroamidjojo, dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional melihat adanya berbedaan antara hukum nasional dan hukum internaional, yaitu sebagai berikut:
1.      Subjek dari pada hukum nasional pada pokoknya adlah individu, anggota masyarakat nasional, sedangkan subjek daripada hukum internasional adalah negara, anggota masyarakat internasional.
2.      Subjek hukum internasional, yaitu negara mempunyai kedaulatan, sedangkan subjek hukum nasional, yaitu individu di dalam manusia nasionalnya tidak mempunyainya, malahan harus tunduk pada kedaulatan negaranya.
3.      Terletak pada sumbernya daripada hukum nasional dan hukum internasional. Kebiasaan-kebiasaan yang mejadi sumber hukum nasional berkembang karena hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarkat suatu negara. Slain daripada itu, ada peraturan perundangan-undangan yang dibuat oleh badan legilatif. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi sumber hukum internasional bukan timbul karena hubungan-hubungan  antara individu-individu., melainkan antar negara-negara yang masing-masing mempunyai kedaulatan. Selain itu, didalam masyarakat internasional tidak terdapat badan legisltif yang mempunyai hak untuk mempunyai hak untuk membuat peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk semua negara, anggota masyarkat internasional itu.[24]

J.        Hukum Perdata Internasional
Hukum perdata Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas-batas negara. Dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum perdata anatar pelaku-pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan. Demikian menurut Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional, dalam memberikan definisi hukum perdata Internasionaal tersebut.[25]
Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto mengatakan, bahwa:
“Hukum Perdata Internasional adalah hukum yang memberi ketentuan-ketentuan mengenai hubungan perdata dari orang-orang yang masing-masing mempunyai kewarganegaraan yang berlainan.”[26]
Hukum Perdata Internasional menerangkan peraturan hukum apa atau peraturan hukum mana yang berlaku terhadap suatu hubungan hukum yang diadakan oleh orang-orang yang mempunyai hukum perdata nasional yang berlainan. Misalanya, pengusaha warga negara indonesia yang tunduk pada kaun perdata Indonesia mengadakan jual-beli dengan seorang negara Italia yang tunduk pada hukum perdata Italia, diatur oleh peraturan-peraturan yng terdapat dalam hukum perdata internasional. Jadi, setiap hubungan hukum yang diadakan oleh dua belah pihak yang tunduk pada sistem hukum privat nasional yang berbeda, diatur oleh peraturan-peraturan yang termuat dalam perdata internasional.
K.     Hukum Perselisihan
Hukum Perselisihan serig juga disebut hukum antartata hukum, yang terdiri tiga bagian, yaitu:
1.      Hukum Intergentil (hukum antargolongan)
Hukum Intergentil (hukum antargolongan) adalah himpunan peraturan-peraturan yang menentukan hukum mana atau hukum apa yang berlaku terhadap suatu hubungan hukun antara orang-orang yang berlainangolongan hukum perdatanya dalam satu negara. Misalnya, seorang warga negara Indonesia keturunan Eropa yang tunduk pada hukum Perdata Barat mengadakan jual-beli mobil dengan seorang warga negara Indonesia asli yang tunduk pada hukum adat.
2.      Hukum Interlokal (hukum antardaerah)
Hukum Interlokal (hukum antardaerah) adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang-orang warga negara Indonesia asli yang mempunyai lingkungan hukum adat yang berbeda. Misalnya, seorang pria Batak kawin dengan seorang wanita Jawa.


3.      Hukum Interreligius (hukum antaragama).
Hukum Interreligius (hukum antaragama) adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum (yng erat kaitannya dengan agama) yang diadakan oleh orang-orang yang berbeda agamanya. Misalnya, seorang Ambon agama Kristen kawin dengan seorang Ambon yang beragama Islam.
Dari uraian mengenai macam-macam hukum diatas ini, maka diperoleh suatu gambaran, bahwa sebagaian dari hukum yang berlaku di Indonesia sekarang ini masih merupakan hukum warisan kolonial Hindia Belanda. Oleh karena itu, meskipun Indonesia sudah mempunyai beberapa undang-undang nasional, tetapi belum dapat dikatakan telah mempunyai tata hukum nasional yang lengkap, karena belum mempunyai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Nasional, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Nasional, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata Nasional, yang lazim disebut kelompok hukum-hukum pokok (basic laws).










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Hukum Tata Negara, menurut Schotten bahwa: “Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi dan pada negara.
2.      Hukum Administrasi Negara (hukum Tata Usaha Negara), menurut Kansil bahwa: “Hukum Tata pemerintahan ialah hukum mengenai aktivitas –aktivitas kekeuasan eksekutif (kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang).
3.      Hukum Acara bisa juga disebut hukum formil, yaitu hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditegakkannya atau dipertahankannya hukum materiil.hukum acara dapat dibagai atara tiga macam yaitu: hukum acara pidana, hukum acara perdata, hukum acara tata usha negara.
4.      Hukum Pemburuhan, Imam Soepomo, dalam bukunya pengantar Hukum Pemburuhan, mendefinikan: “Hukum Pemburuhan sebagai suatu himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak, yang berkenaan dengan suatu kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.”
5.      Hukum Pajak, Rochmat Soemitro menyatakan: “Hukum pajak ialah suatu kumpulan perattan-peraturan yang mnegatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sengai pembayar pajak. Dengan kata lain perkataan hukum pajak menerangkan: siapa-siapa wajib pajak (subjek), dan apa kewajiban-kewajiban mereka terhadap pemerintah, hak-hak pemerintah, objek-objek apa yang dikenkan pajak, cara penagihan, cara pengajuuan keberatan-keberatan, dan sebagainya.”
6.      Hukum Perdata, Menurut Subekti, bahwa: “Hukum Perdana adalah segala hukum pokok yang mengatur kepentigan-kepentingan pribadi.”
7.      Hukum Dagang adalah hukum perdata khusus. Karena itu, ada sarjana yang dirumuskan hukum dagang sebagai hukum yang mengatur hubungan privat “istimewa” anata orang-orang sebagai anggoota masyarakat atau antara orang-orang sebagai anggota masyarkat dengan suatu badan hukum, diantaranya pemerintahnya sebagai badan hukum.
8.      Hukum pidana adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang merupakanakan tindak pidana dan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.
9.      Hukum Internasional (Publik), Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto mengatakan, bahwa: “Hukum Perdata Internasional adalah hukum yang memberi ketentuan-ketentuan mengenai hubungan perdata dari orang-orang yang masing-masing mempunyai kewarganegaraan yang berlainan.”
10. Hukum Perdata Internasional, Menurut Mochtar Kumusaatmadja, bahwa: “Hukum internasional adalaha keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara (hubungan Internasional) yang buka bersifat perdata.”
11. Hukum Perselisihan
Hukum Perselisihan serig juga disebut hukum antartata hukum, yang terdiri tiga bagian, yaitu:
a.      Hukum Intergentil (hukum antargolongan)
b.      Hukum Interlokal (hukum antardaerah)
c.      Hukum Interreligius (hukum antaragama).
B.      Saran
1.      Mengamalkan teori-teori macam-macam hukum dalam kehidupan sehari-hari, apabila kita sudah turun langsung diranah hukum, kita tidak awam lagi.
2.      Hukum bukan hanya sebagai pajangan peraturan negara saja, tetapi sepatutnya kita harus menjalankan atau memaatuhi peraturan itu, agar negara aman, nyaman dan damai.


DAFTAR PUSTAKA

Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Rajawali, Jakarta, cet. I, 1984.
Achmad Ichsan, Hukum Dagang, Pradnya Paramita, Jakarta, cet. I, 1976.
Ali Sastroamidjojo, Pengantar Hukum Internasional, Bhratara, Jakarta, cet. I, 1971.
Bambang Poenomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, cet. III, 1978.
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perubahan, Jambatan. Jakarta, cet. VIII, 1987.
Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, cet. II, 1976.
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, cet. VI, 1984.
Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, Pelajaran Hukum Indonesia, GunungAgung  Jakarta, cet. XI, 1962.
M. Kusnardi-Harmaily. Hukum Tata Negara, Pusata Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UI dan CV Sinar Bhakti, Jakarta, 1988.
Mochtar Kusumaatmajda, Pengantar Hukum Indonesia, Binacipta, Bandung, cet. IV, 1982.
Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944, Eresco, Bandung, cet. XI, 1979.
Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung, cet. III, 1986.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata Hukum Benda, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1975.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, cet. XI, 1975.




[1]M. Kusnardi-Harmaily, Hukum Tata Negara, Pusata Studi Hukum Tata Negara, Fakultas HukumUI dan CV Sinar Bhakti, Jakarta, cet. VI, 1988, hal. 24
[2]Ibid., hal. 25.
[3]Ibid., hal. 29.
[4]Empat kali amandemen UUD 1945 itu dilakukan MPR masing-masing dlam sidang Paripurna tanggal 19 Oktober 1999, tanggl 18 Agustus 2000, tanggal 9 November 2001, dan tanggal 10 Agustus 2002.
[5]Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, cet. II, 1976, hal.144.
[6]Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, cet. VI, 1984, hal.442.
[7]Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Rajawali, Jakarta, cet. I, 1984, hal.104.
[8]Ibid., hal.108. Lazim juga dikatakan, hukum tata negaramengatur negara dalam keadaan diam, sedangkan hukum administrasi mengatur negaradalam keadaan bergerak.
[9]Perubahan ini dimaksudkan untuk mewujudkn kekuasaan kehakiman yang berdiri dan terlepas dari kekuasaan pemerintah, sehingga badan-badan peradilan di Indonesia secara organisatoris, administratif, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
[10]Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perubahan, Jambatan. Jakarta, cet. VIII, 1987, hal. 3.
[11]Ibid., hal. 1.
[12]Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944, Eresco, Bandung, cet. XI, 1979, hal.24-25.
[13]Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung, cet. III, 1986, hal.1.
[14]Ibid., hal. 2.
[15]Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, cet. XI, 1975, hal.9.
[16] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata Hukum Benda, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1975, hal. 1.
[17] Sorojo Wignjodipuro, op.cit. hal. 32.
[18] Achmad Ichsan, Hukum Dagang, Pradnya Paramita, Jakarta, cet. I, 1976, hal. 17.
[19]Ibid., hal. 25.
[20]Ibid.
[21] Bambang Poenomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, cet. III, 1978, hal. 13.
[22]Mochtar Kusumaatmajda, Pengantar Hukum Indonesia, Binacipta, Bandung, cet. IV, 1982, hal. 1.
[23] Ali Sastroamidjojo, Pengantar Hukum Internasional, Bhratara, Jakarta, cet. I, 1971, hal. 17, 18.
[24]Ibid., hal. 12.
[25] Mochtar Kusumaatmajda, op.cit., hal. 1.
[26]Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, Pelajaran Hukum Indonesia, Gunung Jakarta, cet. XI, 1962, hal. 14.