BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum merupakan suatu tatatertib
yang secara langsung maupun tidak langsung ada disekitar kita dan harus dipatuhi keberadaannya.
Negara Indonesia yang notabenenya sebagai Negara hokum harus mampu menjunjung tinggi masyarakatnya
agar sadar akan hukum yang berlaku dilingkungan masyarakat,wilayah maupun
Negara.
Tidak setiap masyarakat mengetahui tentang hukum dan macam-macam pembagian hukum
di negaraini.Untukitu kami akan mencoba menjabarkan tentang macam-macam pembagian hukum
di Indonesia agar kiranya dapat menjadi individu-individu
yang patuh dan taat kepada hukum. Pengelompokkan hukum di
Indonesia yang begitu padat dan tak jarang bagi kita merasa malas dalam mempelajari dan membaca,
kini melalui makalah yang sederhanaini kami harapkan dapat menghilangkan kemalasan itu dan dapat bermanfaat bagi kita semua.
B.
Latar Belakang
1.
Ada berapa macam-macam hukum?
2.
Apasaja Pengertian dari macam-macam hukum?
C.
Tujuan dan Manfaat
1.
Mengetahui macam-macam hukum
2.
Mengetahui Apa saja pengertian dari macam-macam hukum
BAB
II
PEMBAHASAN
MACAM-MACAM HUKUM DI INDONESIA
A.
Hukum Tata Negara
Ahli hukum Belanda,
Schotten mengemukakan, bahwa:
“Hukum Tata
Negara adalah hukum yang mengatur organisasi dan pada negara.[1]
Sedangkan M.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengemukakan:
“Hukum Tata
Negara sebgai sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi daripada
negera, hubungan antar alat perlengkapan negara dlam garis vertikal dan
horizontal, serta kedudukan warga negaranya dan hak-hak asasinya.No index entries found.[2]
Dalam hukum tata negara diatur
tentang tujuan negra, bentukk negara, bentukpemerintahan negara,
lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara, hubungan lembaga-lembaga egara, wilayah negara, rakyat dan pendudu
negara, hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara, dan sebagaunya yang sangat
luas.[3]
Dasar-dasar ketatanegaraan
Indonsia termuat dalam undang-undan Dasara 1945 yang mulanya terdiri dari 37
pasal ditambah dengan empat pasla Aturan Peralihan dan dua ayat Aturan
Tambahan, setelah empat kali diamandemen menjadi 73 pasal ditambah tiga pasal
Aturan Peralihan dan dua pasal Aturan
Tambahan.[4]Meskipun
demikian rangkaian pasal-pasal UUD 1945 setelah diamandemen tersebt teta
mengandung semnagat dan merupakan perwujudan dari pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, jug merupakan rangkainesatuan pasal-pasal
yang bulat dan terpadu. Didalamnya berisi materi yang pada dasarnya dapat
dibedakan dalan dua bagian, yaitu:
a.
Pasal-pasal yang
berisi materi pengukuran sistem pemerintahn negara didalamnya termasuk
pengaturan tentng kedudukan, tugas, wewenang, dan saling hubungannya dari
kelembangan negara.
b.
Pasal-pasal yang
berisi materi hubungan negara dengan warga negara dan penduduknya serta berisi
konsepsi negara diberbagai bidang: politik, ekonomi, sosial-budaya, hankam, dan
lain-lain, kearah ana negera, bangsa, dan rakyat indonesia akan bergerak
mencapai cita-cita nasoinalnya.
B.
Hukum Administrasi Negara (hukum Tata Usaha Negara)
Kusumadi Pudjosewojo, mendefinisikan:
“Hukum tata
usaha negara dlah sebgai keseleuruhan aturan hukum yang menentukan cara bagmana
negara sebagai penguasa itu menjalankan usaha-usaha untuk memenuhi tugas-tugasnya,
atau cara bagaimana penguasa itu seharunya bertingkah laku dalam mengusahakan
tugas-tugasnya.[5]
Menurut Kansil
dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Negara Indonesia, bahwa:
“Hukum Tata
pemerintahan ialah hukum mengenai aktivitas –aktivitas kekeuasan eksekutif
(kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang).[6]
Adboel dalan
bukunya Pengantar Hukum Indonesia menyatakan:
“Hukum
Adminstrasi negara sebaga peraturan hukum yang mengatur admnistrasi, hubungan
antar warga negara pemerintahan yang menjadi sebab samapi negraa itu berfungsi.
Maksudnyaa, merupakan gabungan petugas secara struktural berada dibawah
pimpinan pemerintahan yang melksanakan tugas sebagai bagiannya, yaitu bagian
dari pekerjaan yang tidak ditujukan kepada lembaga legislatif, yudikatif dan
atau lembaga pemeritahan aerah otonomi (mengurus daerah sendiri).[7]
Hukum tata negara dan hukum
administrasi negara mempunyai hubungan yang erat, yang tidk diisahkan satu sama
lain. Prof.Mr. WG. Vegting dalam bukunya Het Algemeen Nederland
Administratiefrecht / sebagaimana dikutip Abdoel Djamali dalam Pengantar Ilmu Hukum, mengemukakan, bahwa:
“hukum tata
negara dan hukum administrasi negara mempelajari suatu bidang peraturan yang
sma, tetapi cara pendekatan yang dopergunakan berbeda. Ilmu hukum tata negara
bertujuan mengethui tentang organisasi negara dan pengorganisasian alat-alat
perlengkapan negara, sedangkan ilmu administrasi negara bertujuan mengetahui
tentang caratngkah laku negara dn alat-alat perlengkapan negara. Jadi, objek
hukum tata negara intu mengenai maslah fundamenta organisasi negara, sedangkan
hukum admnistrasi negara objeknya mengenai pelaksanaan teknik dalma mengelola
negara.”
Sementara itu, van Vollenhoven dalam bukuny. Thobecke
en het Administratiefrecht mengemukakan bahwa:
“Disatu
pihak hukum tata negara sbagai suatu kumpulan peraturan hukum mengdakan lembaga-lembaga
yang memberikan kekuasaan kepadanya melalui pembagian pekerjaan dari lembaga
tertinggi samapai yang terendah, di lain pihak terdapat hukum administrasi
negra sebagai kumpulan peraturan yang mengikat lembaga-lembaga itu dalam
menggunkan kekuasaannya yang telah diberikan hukum tata negara.”[8]
C.
Hukum Acara
Hukum acara bisa juga disebut
hukum formil, yaitu hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin
ditegakkannya atau dipertahankannya hukum materiil.hukum acara dapat dibagai
atara tiga macam yaitu: hukum acara pidana, hukum acara perdata, hukum acara
tata usha negara.
Hukum acara pidana adalah hukum
yang mngatur bagaimana caranya menegakkan atau memperthankan hukum pidana
materiil (yang lazim disebut “hukum pidana). Jadi, hukum acara pidana memuat
aturan-aturan tentang bagaimana caranya menerapkan hukum pidana terhada
perkara-perkara pidana. Dalam hukum acara pidana diatur segala sesuatu tentang
proses pemeriksaan perkara pidana pada semua tingkatan pemeriksaan: di
kepolisian, di kejaksaan, maupun di pengadilan.
Di indonesia sekarag sudah ada
hukum acara pidana nasional, sebagimana termuat dalam UU No.8 Tahun 1981
tantang Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain itu, terdapat dalam
berbagai peraturan perundang-undangan sebagai hukum acara pidana untuk tindak
pidana khusus, seperti tindak pidana khusus, subversi, dan sebagainya.
Hukum acara perdata adlah hukum
yang mengatur bagaimana caranya menegakkan atau mempertahankan hukum Perdata
materiil (yang lazim disebut hukum perdana). Jadi, hukum acara perdata memuat
aturan-aturan bagaimana acaranya menerapkan hukum perdata terhadap
perkata-perkara perdata. Perkata-perkara perdata terjadi kareana adanya
pelanggaran terhadap hukum perdata, yang menimbukan kerugan terhadap hak-hak
perdata. Dalam hukum acara perdata dimuat aturan-aturan yyang arus diindahkan
dalam proses pemeriksaan perkara perdata.
Hukum aacra perdata dapat
dibedakan menjadi 2 yaitu hukum acara
perdata yang berlaku di pengadilan dalam
lingkunan badan pengadilan umum dan hukum acara perdata yang berlaku di
pengadilan dalam lingkungan peradian agama. Baik hukum acara perdata yang
berlaku dalam lingkungan peradilan umum maupun
hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan agama, hingga
kini masih belum terhimpun dalam satu kodifikasi hukum acara nasional, tetapi
terserak-serak dalam berbagai peraturan perundangan-undangan, sebagian
penginggalan kolonial Blanda, sebagian lainnya dibuat setelah merdeka.
Hukum acara perdata lingkungan
peradilan umum yang berlaku di Indonesia sekarang antara lain termuat:
a.
Herziene Inlandsch
Reglemen (Reglemen Indonesia Baru) yanag berlaku untuk daerah Pulau Jawa dan
Madura;
b.
Regchtreglemen voor
de Buitengewesten ( Regemen untuk daerah Seberang) yang berlaku untuk daerah
luar Pulau Jawa dan Madura;
c.
Ordonansi Tahun
1867 Nomor 29 tentang Kekuatan Pembuktian Tulisantulsn di Bawah Tangan Orang
Indonesia (Bumiputra);
d.
Uudang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 tentang kepailitan penundaan pembayaran kewajiban membayar utang;
e.
Undang-Undang Nomor
20 Tahun 1947 tentang Perdilan Ulangan di Jawa dan Madura;
f.
Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;[9]
g.
Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
h.
Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009
i.
Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1986 tentang Advokat; dan
j.
Yurisprudensi-yurisprudensi
Mahkamah Agung
Sedangkan hukum acara perdata
yang berlaku dilingkungan perdilan agama sekaraang ini adlah ukum acara perdata
yang beraku pada pengadilan dalam lingkunan peradilan umum, kecuali yang telah
diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor t Tahun 1989 tentang eradilan Agma.
Hukum acara pada pengadilan dalam lingkungan perdilan agama juga terdapat
dalam:
a.
Undang-Undang Nomor
1Tahun 1974 tentang Perkawinan.
b.
Perturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
c.
Peraturan menteri
agama Nomor 1 Tahun 1983 tanggal 6 Januari 1983 tentang Pemberian bantuan Hukum
pada Peradilan Agama.
d.
Keputusa Bersama
Ketua Mahkamah Agung Pepublik Indonesia dengan Menteri Agama Republik Indonesia
tanggal 7 januari 1983 Nomor KMA/003/SK/I/1983 dan Nomor 3 Tahun 1983 tentang
Pengawasan terhadapa Pemberi Bantuan Hukum dan berbagai macam peraturan
peundang-undangan lain sepanjang belum diganti dengan kesatuan baru berdasarkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 serta tidak bertentangn dengan Undang-Undang
Peradilan Agama tersebut.
Hukum acara yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkunagn Perdiln Tata Usaha Negara termuat dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009.
D.
Hukum Pemburuhan
Ahli Hukum Pemburuhan Indonesia, Imam Soepomo, dalam bukunya pengantar Hukum Pemburuhan, mendefinisikan:
“Hukum
Pemburuhan sebagai suatu himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak, yang
berkenaan dengan suatu kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan
menerima upah.”[10]
Molennar berpendapat, bahwa:
“Hukum Pemburuhan adalah suatu bagan dari hukum yang
berlaku pada pkoknya mngatur hubungan anatara buruh dengan majikan, antara
buruh dengan buruh, dan antara buruh dengan penguasa.”[11]
Secara umum dapat disimpukan,
bahwa hukum pemburuhan itu adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur
hubungan-hubungan pemburuhan, yaitu hubungan anatara buruh dan majikan, serta
hubungan antara buruh dan majikan dengan penguasa (pemerintah).
Beberapa peraturan
perundangn-undangan yang mengatur ppemburuhan di Indonesia sekarang ini, antara
lain:
a.
Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
b.
Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1951 tentang Pengawasan Pemburuhan
c.
Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
d.
Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
e.
Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri.
f.
Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
g.
Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
E.
Hukum Pajak
Rochmat
Soemitromenyatakan:
“Hukum pajak ialah suatu kumpulan perattan-peraturan yang
mnegatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sengai
pembayar pajak. Dengan kata lain perkataan hukum pajak menerangkan: siapa-siapa
wajib pajak (subjek), dan apa kewajiban-kewajiban mereka terhadap pemerintah,
hak-hak pemerintah, objek-objek apa yang dikenkan pajak, cara
penagihan, cara pengajuuan keberatan-keberatan, dan sebagainya.”[12]
Santoso
Brotodihardjo berpendapat bahwa:
“Hukum pajak yang juga disebut hukum fiskal adlah
keseluruhn peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk
mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarkat dengan
melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara
negara dan orang-orang ataua badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar
pajak (selanjutnya sering disebut wajib pajak).”[13]
Pajak adalah iuran kepada
negara (yang dapat dipakskan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peratutan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembbali, yang lansung
dapat ditunjuk, dan yang digunakan adlah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum terhubung dengn tugas negara untuk menyelenggarkan
pemerintah.Demikian pendapat Andrani.[14]
Beberapa peraturan
perundang-undangan yang mengatur pajak di Indonesia sekarang ini, antara lain
adalah:
a.
Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1970 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
b.
Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasiln sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
c.
Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjuaan
Barang Mewah sebagaimana telah dubah dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2000
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
d.
Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1983 tantang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor12 Tahun 1994
e.
Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2006
f.
Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1995 tentang Cukai
g.
Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retrebusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
h.
Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Sura Paksa sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000
i.
Undang-Undang Nomor
21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000.
F.
Hukum Perdata
Menurut Subekti,
bahwa:
“Hukum Perdana
adalah segala hukum pokok yang mengatur kepentigan-kepentingan pribadi.”[15]
Sri Soedewi
Masjchoen Sofwan mengatakaan bahwa:
“Hukum Perdata
adalah Hukum yang mengatur kepentingan antara warga negara perseorangan yang
satu dengan warga negara perseorangan yang lain.”[16]
Oleh karena itu, secara umum
dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dngan hukum perdata adalah hukum yang
mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dan orang yang lain di dalam
masyarakat yang menitikberatkan pada kepentingan persorangan (pribadi).
Kendatipun demikian, tidk
berarti semua hukum perdata tersebut secara murni mengatur hubungan hukum
mengenai kepentingan pribadi. Akan tetapi, keren perkembangan masyarakat,
banyak bidang hukum perdata yang telah diwarnai sedemikian rupa oeh hukum
publik, sehingga juga mengatur hubungan hukum yang menyangkut kepentingan umum,
seperti hukum perkawinan, hukum pemburuhan, dan sebagainya.
Hukum perdata serig dibedakan
dalam pengertian yang luas (termasuk hukum dagang) dan pengertian yang sempit
(tidak termasuk hukum dagang). Istilah hukum perdata sering disebut hukum sipil
dan hukum privat. Selanjutkan hukum perdata ini yang tertuis dan ada yang tiak
tertulis. Hukum perdata yanga tertulis ialah hukum perdata yang termuat dalam Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata) maupun peraturan perundangan-undangan lainnya. Sedangkan hukum
yang tidak tertulis ialah hukum adat, yang merupakan hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Burgerlijk Wetboek (BW) berlaku
bagai warga negara Indonesia keturunan Eropa, Timur Asing Tioghoa, dan Timur
Asing bukan Tionghoa (seperti orang Arab, India, Pakistan), kecuali hukum
keluarga dan hukum waris, meraka (Timur Asing bukan Tionghoa) tunduk pada hukum
adat mereka masing-masing. Sedangkan hukum adat, merupakan hukum perdata yang
berlaku bagi warga negara Indonesia asli.
Dengan demikian,
hukum perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih bersifat
duaalisme bahkan pluralisme pluralistis, kecuali bidang-bidang tertentu yang
sudah ada unifikasi. Seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Ketentuan-ketentuan pokok Agreria, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian,
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004.
G.
Hukum Dagang
Hukum dagang adalah hukum
perdata khusus. Karena itu, ada sarjana yang dirumuskan hukum dagang sebagai
hukum yang mengatur hubungan privat “istimewa” anata orang-orang sebagai
anggoota masyarakat atau antara orang-orang sebagai anggota masyarkat dengan
suatu badan hukum, diantaranya pemerintahnya sebagai badan hukum.[17]S
Achmad Ichsan
dalam bukuny Hukum Dagang menyatakan, bahwa:
“Hukum Dagang
adalah hukum uang mengatur soal-soal perdagangan/perniagaan, ialah soal-soal
yang timbul karena tingkah laku manusia (persoon) dalam perdagangan/perniagaan.”[18]
Selanjutnya, apabila dihubungkan dengan “isi” daari pengetian
perdagangn, hukum dagang/perniagaan ini mengatur ketentuan-ketentuan mengenai:
a.
Hubungan hukum
antara produsen satu sama lain, produsen dengan konsumen yang meliputi, antara
lain: pembelian dan penjualan serta pembuatan perjanjian.
b.
Pemberian
“perantaraan” anatra mereka yang terdapat dalam-dalam tugas-tugas makelar,
komisioner, pedagang keliling, dan sebagianya.
c.
Hubungan hukum yang
terdapat dalam:
1)
Bentuk-bentuk
asosiasi perdagangan, seperti Perseroan Terbatas (PT=NV), perseroan Firma
(VOF), dan sebagianya.
2)
Pengangkutan di
darat, laut, dan udara serta pertanggungan asuransi yang berhubungan dengan
pengangkatan dan jaminan keamanan dan risiko pada umumnya;
3)
Penggunaan
surat-surat niaga (handelspapieren), seperti wesel, cheque, askep dan sebagainya
untuk mempermudah pembayaran dan emberian kredit.[19]
Atas dasar ini maka hukum dagang meliputi:
a.
Hukum bagi pedagang
antara;
b.
Hukum
perserikatan;hukum transport/angkutan;
c.
Hukum asuransi dan
khususnya dalan hal ini hukum laut;
d.
Hukum surat-surat niaga/surat-surat
berharga.[20]
Sampai saat ini Indonesia masih
belum mempunyai hukum dagang nasional, sehingga masih tetap mempengaruhi hukum
dagang warisan kolonial pemerintah Hindia Belanda, yaitu Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (Wetboek van koophandel-WVK). Meskipun demikian, Indonesiasudah
mempunyai beberapa produk hukum nasional di lapangan perdagagangan, misalnya:
a.
Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Miik Negara;
b.
Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
c.
Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang Indonesia;
d.
Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian;
e.
Undang-Undang Nomor
15 Tahun 1992 tentang Penerbangan;
f.
Undang-Undang Nomor
21 Tahun 1992 tentang Pelayanan;
g.
Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1992 tentang Perkoprasian;
h.
Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
i.
Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
j.
Undang-Undang Nomor
9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
k.
Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan;
l.
Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta;
m.
Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1983 tentang Perbankan;
n.
Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat;
o.
Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
p.
Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2001 tentang Paten;
q.
Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2001 tentang Merek.
H.
Hukum Pidana
Hukum pidana adalah keseluruhan
peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang merupakan akan tindak
pidana dan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.
Dengan demikian, hukum pidana
bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melainkan sudah terletak pada
normalain, dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan ditaattinya norma-norma
lain tersebut.[21]
Norma lain itu misalnya norma agama dan kesusilaan, yang misalnya menentukan:
jangan membunuh, jangan mengambil barang milik orang lain, jangan menghina
orang lain, dan sebagainya.
Saat sampai ini Indonesia juga
masih belum mempunyai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasiona, sehingga Kitab
Undang-Undang hukum Pidana (wetboek van
strafrecht) warisan pemerintahan kolonia Hindia Belanda tetap berlaku.
Beberapa undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah
kemerdekaan, di antaranya:
a.
Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1974 tentang Penerbit Perjudian;
b.
Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap;
c.
Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang;
d.
Undang-Undang
Nomor31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;
e.
Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencurian Uang sebagimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor25 Tahun 2003;
f.
Undang-Undang
Nomor15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Ketentuan-ketentuan
hukum pidana selain termuat dalam Kitab Undan-Undang Hukum Pidana maupun
undang-undang khusus seperti tersebut diatas, juga terdapat pada berbagai
Undang-Undang di bidang Pertahanan, Pemburuhan, Perpajakan, Pertambangan,
Perdagangan, Perbankan, Perasurasian, Perhubungan, Lingkungan Hidup, dan
sebagainya.
I.
Hukum Internasional (Publik)
Hukum Internasional (publik) bisa
juga disebut hukum antarnegara, hukum antarnegara, hukum bangsa-bangsa, hukum
publik internasional, dan sebagainya, tetapi lebih lazim disebut “hukum
internasional”.
Menurut Mochtar
Kumusaatmadja, bahwa:
“Hukum
internasional adalaha keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang
mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara (hubungan
Internasional) yang buka bersifat perdata.”[22]
Sudah menjadi pendapat umum,
bahwa hukum internasional pada hakikatnya bermaksud untuk mencegah timbulnya
perang atau dngan perkatan lain ialah untuk mengtur hubungan-hubungan antarnegara-negara
sedemikian rupa sehingga dapat dijamin ketertiban dan kedamaian di dalam
masyarakat internasional.[23]
Ali Sastroamidjojo,
dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional melihat adanya berbedaan antara
hukum nasional dan hukum internaional, yaitu sebagai berikut:
1. Subjek dari pada hukum nasional pada pokoknya adlah
individu, anggota masyarakat nasional, sedangkan subjek daripada hukum
internasional adalah negara, anggota masyarakat internasional.
2. Subjek hukum internasional, yaitu negara mempunyai
kedaulatan, sedangkan subjek hukum nasional, yaitu individu di dalam manusia
nasionalnya tidak mempunyainya, malahan harus tunduk pada kedaulatan negaranya.
3.
Terletak pada
sumbernya daripada hukum nasional dan hukum internasional. Kebiasaan-kebiasaan yang mejadi sumber hukum nasional berkembang
karena hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarkat suatu negara.
Slain daripada itu, ada peraturan perundangan-undangan yang dibuat oleh badan
legilatif. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi sumber hukum
internasional bukan timbul karena hubungan-hubungan antara individu-individu., melainkan antar
negara-negara yang masing-masing mempunyai kedaulatan. Selain itu, didalam
masyarakat internasional tidak terdapat badan legisltif yang mempunyai hak untuk
mempunyai hak untuk membuat peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
semua negara, anggota masyarkat internasional itu.[24]
J.
Hukum Perdata Internasional
Hukum perdata Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas
hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas-batas negara. Dengan
perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum perdata anatar pelaku-pelaku
hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan.
Demikian menurut Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Pengantar Hukum
Internasional, dalam memberikan definisi hukum perdata Internasionaal tersebut.[25]
Simorangkir
dan Woerjono Sastropranoto
mengatakan, bahwa:
“Hukum Perdata
Internasional adalah hukum yang memberi ketentuan-ketentuan mengenai hubungan
perdata dari orang-orang yang masing-masing mempunyai kewarganegaraan yang
berlainan.”[26]
Hukum Perdata
Internasional menerangkan peraturan hukum apa atau peraturan hukum mana yang
berlaku terhadap suatu hubungan hukum yang diadakan oleh orang-orang yang
mempunyai hukum perdata nasional yang berlainan. Misalanya, pengusaha warga
negara indonesia yang tunduk pada kaun perdata Indonesia mengadakan jual-beli
dengan seorang negara Italia yang tunduk pada hukum perdata Italia, diatur oleh
peraturan-peraturan yng terdapat dalam hukum perdata internasional. Jadi,
setiap hubungan hukum yang diadakan oleh dua belah pihak yang tunduk pada
sistem hukum privat nasional yang berbeda, diatur oleh peraturan-peraturan yang
termuat dalam perdata internasional.
K.
Hukum Perselisihan
Hukum Perselisihan serig juga disebut hukum antartata
hukum, yang terdiri tiga bagian, yaitu:
1.
Hukum Intergentil
(hukum antargolongan)
Hukum Intergentil (hukum antargolongan) adalah himpunan peraturan-peraturan
yang menentukan hukum mana atau hukum apa yang berlaku terhadap suatu hubungan
hukun antara orang-orang yang berlainangolongan hukum perdatanya dalam satu
negara. Misalnya, seorang warga negara Indonesia keturunan Eropa yang tunduk
pada hukum Perdata Barat mengadakan jual-beli mobil dengan seorang warga negara
Indonesia asli yang tunduk pada hukum adat.
2.
Hukum Interlokal
(hukum antardaerah)
Hukum Interlokal (hukum
antardaerah) adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara
orang-orang warga negara Indonesia asli yang mempunyai lingkungan hukum adat
yang berbeda. Misalnya, seorang pria Batak kawin dengan seorang wanita Jawa.
3.
Hukum Interreligius
(hukum antaragama).
Hukum Interreligius
(hukum antaragama) adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum (yng
erat kaitannya dengan agama) yang diadakan oleh orang-orang yang berbeda
agamanya. Misalnya, seorang Ambon agama Kristen kawin dengan seorang Ambon yang
beragama Islam.
Dari
uraian mengenai macam-macam hukum diatas ini, maka diperoleh suatu gambaran,
bahwa sebagaian dari hukum yang berlaku di Indonesia sekarang ini masih
merupakan hukum warisan kolonial Hindia Belanda. Oleh karena itu, meskipun
Indonesia sudah mempunyai beberapa undang-undang nasional, tetapi belum dapat
dikatakan telah mempunyai tata hukum nasional yang lengkap, karena belum
mempunyai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Nasional, Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang Nasional, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, dan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Perdata Nasional, yang lazim disebut kelompok hukum-hukum
pokok (basic laws).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Hukum Tata Negara, menurut Schotten bahwa: “Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi
dan pada negara.
2. Hukum Administrasi Negara (hukum Tata Usaha Negara), menurut Kansil bahwa: “Hukum Tata pemerintahan ialah
hukum mengenai aktivitas –aktivitas kekeuasan eksekutif (kekuasaan untuk
melaksanakan undang-undang).
3.
Hukum Acara bisa juga disebut hukum formil, yaitu hukum yang mengatur
bagaimana caranya menjamin ditegakkannya atau dipertahankannya hukum
materiil.hukum acara dapat dibagai atara tiga macam yaitu: hukum acara pidana,
hukum acara perdata, hukum acara tata usha negara.
4.
Hukum Pemburuhan, Imam Soepomo, dalam bukunya pengantar Hukum Pemburuhan,
mendefinikan: “Hukum Pemburuhan sebagai suatu himpunan peraturan, baik tertulis
maupun tidak, yang berkenaan dengan suatu kejadian dimana seseorang bekerja
pada orang lain dengan menerima upah.”
5.
Hukum Pajak, Rochmat Soemitro menyatakan: “Hukum pajak ialah suatu
kumpulan perattan-peraturan yang mnegatur hubungan antara pemerintah sebagai
pemungut pajak dan rakyat sengai pembayar pajak. Dengan kata lain perkataan
hukum pajak menerangkan: siapa-siapa wajib pajak (subjek), dan apa
kewajiban-kewajiban mereka terhadap pemerintah, hak-hak pemerintah, objek-objek
apa yang dikenkan pajak, cara penagihan, cara pengajuuan keberatan-keberatan,
dan sebagainya.”
6. Hukum Perdata, Menurut
Subekti, bahwa: “Hukum Perdana adalah segala hukum pokok yang mengatur
kepentigan-kepentingan pribadi.”
7.
Hukum Dagang adalah hukum perdata khusus. Karena itu, ada sarjana yang
dirumuskan hukum dagang sebagai hukum yang mengatur hubungan privat “istimewa”
anata orang-orang sebagai anggoota masyarakat atau antara orang-orang sebagai
anggota masyarkat dengan suatu badan hukum, diantaranya pemerintahnya sebagai
badan hukum.
8.
Hukum pidana adalah
keseluruhan peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang
merupakanakan tindak pidana dan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang
melakukannya.
9.
Hukum Internasional
(Publik), Simorangkir dan Woerjono
Sastropranoto mengatakan, bahwa: “Hukum Perdata Internasional adalah hukum yang
memberi ketentuan-ketentuan mengenai hubungan perdata dari orang-orang yang
masing-masing mempunyai kewarganegaraan yang berlainan.”
10. Hukum Perdata Internasional, Menurut Mochtar Kumusaatmadja, bahwa: “Hukum
internasional adalaha keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang
mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara (hubungan
Internasional) yang buka bersifat perdata.”
11. Hukum Perselisihan
Hukum Perselisihan serig juga disebut hukum antartata
hukum, yang terdiri tiga bagian, yaitu:
a.
Hukum Intergentil
(hukum antargolongan)
b.
Hukum Interlokal
(hukum antardaerah)
c.
Hukum Interreligius
(hukum antaragama).
B.
Saran
1. Mengamalkan teori-teori macam-macam hukum dalam kehidupan
sehari-hari, apabila kita sudah turun langsung diranah hukum, kita tidak awam
lagi.
2. Hukum bukan hanya sebagai pajangan peraturan negara saja,
tetapi sepatutnya kita harus menjalankan atau memaatuhi peraturan itu, agar
negara aman, nyaman dan damai.
DAFTAR PUSTAKA
Abdoel Djamali, Pengantar
Hukum Indonesia, Rajawali, Jakarta, cet. I, 1984.
Achmad Ichsan, Hukum
Dagang, Pradnya Paramita, Jakarta, cet. I, 1976.
Ali Sastroamidjojo, Pengantar
Hukum Internasional, Bhratara, Jakarta, cet. I, 1971.
Bambang Poenomo, Asas-Asas
Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, cet. III, 1978.
Iman Soepomo, Pengantar
Hukum Perubahan, Jambatan. Jakarta, cet. VIII, 1987.
Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman
Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, cet. II, 1976.
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, cet. VI, 1984.
Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, Pelajaran
Hukum Indonesia, GunungAgung Jakarta, cet. XI, 1962.
M. Kusnardi-Harmaily. Hukum Tata
Negara, Pusata Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UI dan CV Sinar
Bhakti, Jakarta, 1988.
Mochtar Kusumaatmajda, Pengantar
Hukum Indonesia, Binacipta, Bandung, cet. IV, 1982.
Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum
Pajak dan Pajak Pendapatan 1944, Eresco, Bandung, cet. XI, 1979.
Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu
Hukum Pajak, Eresco, Bandung, cet. III, 1986.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum
Perdata Hukum Benda, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1975.
Subekti, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, cet. XI, 1975.
[1]M.
Kusnardi-Harmaily, Hukum Tata Negara,
Pusata Studi Hukum Tata Negara, Fakultas HukumUI dan CV Sinar Bhakti,
Jakarta, cet. VI, 1988, hal. 24
[4]Empat kali
amandemen UUD 1945 itu dilakukan MPR masing-masing dlam sidang Paripurna
tanggal 19 Oktober 1999, tanggl 18 Agustus 2000, tanggal 9 November 2001, dan
tanggal 10 Agustus 2002.
[5]Kusumadi
Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum
Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, cet. II, 1976, hal.144.
[6]Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, cet. VI, 1984, hal.442.
[7]Abdoel
Djamali, Pengantar Hukum Indonesia,
Rajawali, Jakarta, cet. I, 1984, hal.104.
[8]Ibid., hal.108. Lazim juga dikatakan, hukum tata
negaramengatur negara dalam keadaan diam, sedangkan hukum administrasi mengatur
negaradalam keadaan bergerak.
[9]Perubahan ini
dimaksudkan untuk mewujudkn kekuasaan kehakiman yang berdiri dan terlepas dari
kekuasaan pemerintah, sehingga badan-badan peradilan di Indonesia secara
organisatoris, administratif, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah
Agung.
[10]Iman
Soepomo, Pengantar Hukum Perubahan,
Jambatan. Jakarta, cet. VIII, 1987, hal. 3.
[12]Rochmat
Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan
Pajak Pendapatan 1944, Eresco, Bandung, cet. XI, 1979, hal.24-25.
[13]Santoso
Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak,
Eresco, Bandung, cet. III, 1986, hal.1.
[15]Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa,
Jakarta, cet. XI, 1975, hal.9.
[16] Sri Soedewi
Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata Hukum
Benda, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1975, hal. 1.
[17] Sorojo
Wignjodipuro, op.cit. hal. 32.
[18] Achmad
Ichsan, Hukum Dagang, Pradnya Paramita,
Jakarta, cet. I, 1976, hal. 17.
[20]Ibid.
[21] Bambang
Poenomo, Asas-Asas Hukum Pidana,
Ghalia Indonesia, cet. III, 1978, hal. 13.
[22]Mochtar
Kusumaatmajda, Pengantar Hukum Indonesia,
Binacipta, Bandung, cet. IV, 1982, hal. 1.
[23] Ali
Sastroamidjojo, Pengantar Hukum
Internasional, Bhratara, Jakarta, cet. I, 1971, hal. 17, 18.
[25] Mochtar
Kusumaatmajda, op.cit., hal. 1.
[26]Simorangkir
dan Woerjono Sastropranoto, Pelajaran
Hukum Indonesia, Gunung Jakarta, cet. XI, 1962, hal. 14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar