Selasa, 15 Maret 2016

Rancangan Usulan Penelitian (RUP)

                           Rancangan Usulan Penelitian (RUP)


1.      Identitas yang mengajukan RUP
2.   Rencana Judul
3.      Permasalahan
       a.       Didukung dengan data dilapangan
       b.      Identifikasi masalah
       c.       Rumusan masalah
4.      Teori
       a.       Variabel Independen (X)
              -          Dimensi
              -          Indikator
       b.      Variabel Dependen (Y)
              -          Dimensi
              -          Indikator
5.      Referensi


                                                                                                      Bandung,       Maret 2016
               Menyetujui,                                                                                                    
       Ketua Prog. Studi/Jurusan                                                             Mahasiswa


    Nama Ketua Jurusan                                                            Nama Mahasiswa/i
NIP.­­­____________________                                                      NIM. ____________


Minggu, 28 Februari 2016

Kebijakan Sosial - FISIP UIN Bandung


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Definisi dan Tujuan Kebijakan Sosial
Dalam konteks pembangunan sosial, kebijakan sosial adalah seperangkat tindakan (course of action), kerangka kerja (framework), petunjuk (guideline), rencana (plan), peta (map), atau strategi, yang dirancang untuk menerjemahkan visi politis pemerintah atau lembaga pemerintah kedalam program dan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu (tujuan-tujuan pembangunan) di bidang kesejahteraan sosial (social welfare).
Kebijakan sosial seringkali menyentuh, berkaitan atau bahkan selintas, bertumpang tindih (overlaping) dengan bidang lain yang umumnya dikategorikan sebagai bidang sosial, semisal kesehatan, pendidikan, perumahan, atau makanan. Lebih dari itu ‘sosial’ tidak jarang diartikan secara luas sebagai, kegiatan kesukarelawan, hiburan, rekreasi, sesuatu yang bersifat non-fisik atau non-ekonomi. Spicker (1999:5) membantu mempertegas substansi kebijakan sosial dengan menyajikan tiga karakteristik atau aras pendefinisi kebijakan sosial.
1.    Social Policy is about policy. Kebijakan sosial adalah tentang ‘kebijakan’. Artinya, meskipun kebijakan sosial bersentuhan dengan bidang makanan, pendidikan, dan kesehatan, ia memilki fokus dan urusannya sendiri, yakni menyangkut urusan ‘kebijakan’. Elemen utama ‘kebijakan adalah tujuan proses implementasi dan pencapaian hasil suatu inisiatif atau keputusan kolektif yang dibuat oleh, misalnya, departemen-departemen pemerintah (pada tingkat makro) atau lembaga-lembaga pelayanan sosial (pada skala mikro). Karenanya meskipun kebijakan sosial tidak jarang berhubungan dengan ‘makanan’, ia tidak mempelajari atau mengurusi soal makanan itu sendiri; melainkan dengan regulasi dan distribusi makanan tersebut. Kebijakan sosial tidak secara langsung berhubungan dengan perkembangan anak (child development), tetapi dengan pendidikan dan pelayanan sosial untuk membantu dan mengatasi kesulitan anak-anak tumbuh dan berkembang. Kebijakan sosial juga tidak mengurusi persoalan kesehatan fisik – karena merupakan domain kedokteran, tetapi ida sangat berkaitan dengan kebijakan-kebijakan untuk mempromosikann kesehatan dan pemberian perawatan kesehatan, khususnya yang menyangkut jaminan sosial kesehatan (di AS disebut Medicare dan Medicaid).
2.    Social policy ic concerned with issues that are social. Kebijakan sosial berurusan dengan isu-isu yang bersifat sosial. Namun, arti sosial disini tidak bersifat luas. Melainkan merujuk pada beragam respon kolektif yang dibuat guna mengatasi masalah sosial yang dirasakan oleh publik. Istilah sosial menunjuk pada “....somekind of collective social respone made to perceived problem.” Demikian yang dikemukakan Spicker.
3.    Social policy is about welfare. Secara luas, welfare dapat diartikan sebagai ‘well-being’ atau ‘kondisi sejahtera’. Namun, welfare juga berarti “The provision of social services provided by the state” dan sebagai “Certain types of benefit, especially means-tested social security, aimed at poor people.”

Urusan kesejahteraan sosial senantiasa menyangkut orang banyak, maka kebijakan sosial seringkali diidentikan dengan kebijakan publik. Pembahasan ini mengambil posisi seperti ini. Kesejahteraan sosial senantiasa berorientasi kepada pencapaian tujuan sosial. Tujuan sosial ini mengandung dua pengertian yang saling terkait, yakni: memecahkan masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial.
Tujuan pemecahan masalah mengandung arti mengusahakan atau mengadakan perbaikan karena ada sesuatu keadaan yang tidak diharapkan (misalnya kemiskinan) atau kejadian yang bersifat deskruktif atau patologis yang mengganggu dan merusak tatanan masyarakat (misalnya kenakalan remaja, eksploitasi pekerja anak). Tujuan pemenuhan kebutuhan mengandung arti menyediakan pelayanan-pelayanan sosial yang diperlukan, baik dikarenakan adanya masalah maupun tidak ada masalah, dalam arti bersifat pencegahan (mencegah terjadinya masalah, mencegah tidak terulang atau timbul lagi masalah atau mencegah meluasnya masalah) atau pengembangan (peningkatan kualitas suatu kondisi agar lebih baik dari keadaan sebelumnya). Secara lebih rinci, tujuan-tujuan kebijakan sosial adalah:
1.      Mengantisipasi, mengurangi, atau mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
2.      Memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu, keluarga, kelompok atau masyarakat yang tidak dapat mereka penuhi secara sendiri-sendiri melainkan harus melalui tindakan kolektif.
3.      Meningkatkan hubungan intrasosial manusia dengan mengurangi kedisfungsian sosial individu atau kelompok yang disebabkan oleh faktor-faktor internal-personal maupun eksternal-struktural.
4.      Meningkatkan situasi dan lingkungan sosial-ekonomi yang kondusif bagi upaya pelaksanaan peranan-peranan sosial dan pencapaian kebutuhan masyarakat sesuai dengan hak, harkat, dan martabat kemanusiaan.
5.      Menggali, mengalokasikan dan mengembangkan sumber-sumber kemasyarakatan demi tercapainya demi tercapainya kesejahteraan sosial dan keadilan sosial.
Menurut David Gil (1973), demi mencapai tujuan-tujuan kebijakan sosial, terdapat perangkat dan mekanisme kemasyarakatan yang perlu diubah, yaitu yang menyangkut:
1.      Pengembangan sumber-sumber.
Pengembangan sumber-sumber meliputi pembuatan keputusan-keputusan masyarakat dan penentuan pilihan-pilihan tindakan berkenaan dengan jenis, kualitas, dan kuantitas semua barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang ada dalam masyarakat.
2.      Pengalokasian status.
Pengalokasian status menyangkut peningkatan dan perluasan akses serta keterbukaan kriteria dalam menentukan akses tersebut bagi anggota masyarakat. Kebijakan sosial harus memiliki efek pada penghilangan segala bentuk diskriminasi. Kebijakan sosial harus mendorong bahwa semua anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan yang layak, berserikat dan berkumpul dalam organisasi sosial, tanpa mempertimbangkan usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, ras, suku bangsa dan agama.
3.      Pendistribusian hak.
Pendistribusian hak menunjuk pada perluasan kesempatan individu kelompok dalam mengontrol sumber-sumber material dan non material. Apakah semua anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dalam berpartisipasi dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan  yang menyangkut kehidupan mereka? Sejauhmana individu dan kelompok dapat mengontrol distribusi dan kesempatan dalam pengambilan keputusan-keputusan penting dalam kehidupannya? Dengan kata lain pendistribusian hak, berkaitan dengan pendistribusian kekuasan dan penguasaan sumber-sumber yang lebih adil. Selain itu, pendistribusian hak juga menunjuk pada usaha-usaha pemerataan sumber-sumber dari golongan kaya ke golongan miskin.
Ketiga aspek tersebut merupakan kerangka acuan dalam menentukan tujuan kebijakan sosial. Kebijakan sosial harus memperhatikan distribusi barang dan pelayanan, kesempatan, dan kekuasaan yang lebih luas, adil dan merata bagi segenap warga masyarakat.
B.       Model Kebijakan Sosial
Model kebijakan sosial dapat dikelompokkan menjadi beberapa ketegori berdasarkan pelaksanaannya, ruang lingkupnya & cakupannya, keajegan & keberlanjutannya, dan jenis permasalahan dan sasarannya.
1.         Berdasarkan pelaksanaannya
Berdasarkan pelaksanaannya, model kebijakan sosial dapat dibagi dua, yakni Model Imperatif dan Model Indikatif. Model kebijakan sosial imperatif adalah kebijakan sosial terpusat, yakni seluruh tujuan sosial, jenis, sumber, dan jumlah pelayanan sosial, seluruhnya telah ditentukan oleh pemerintah. Kebijakan seperti ini menunjuk pada pengertian kebijakan sosial yang dinyatakan oleh Dye (1976): “social policy is concerned with what goverments do, whay they do it, and what difference it makes.”
Kebijakan indikatif adalah kebijakan sosial yang mengupayakan kesamaan visi dan aspirasi seluruh masyarakat. Pemerintah biasanya hanya menentukan sasaran kebijakan secara garis besar, sedangkan pelaksanaannya dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat atau badan-badan swasta (Lembaga Swadaya Masyarakat atau organisasi sosial). Kebijakan sosial indikatif sering pula disebut  sebagai kebijakan sosial partisipatif.
Kebijakan imperatif banyak dipraktikkan di negara-negara sosialis selama lebih dari setengah abad. Meski dengan wajah yang agak berbeda, negara-negara berkembang seperti India, Afrika, dan Amerika Latin juga menerapkan model kebijakan ini. Sementara itu di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang, kebijakan sosialnya lebih bersifat indikatif. Usaha-usaha kesejahteraan sosial yang dikelola sektor masyarakat dan swasta tidak dikontrol secara ketat. Pemerintah hanya menyediakan berbagai fasilitas dasar dan mengidentifikasikan bidang-bidang pelayanan sosila tertentu yang menjadi prioritas bersama. Kebijakan sosial indikatif erat kaitannya dengan sistem demokrasi, karena penuntuan kebijakan sosial dirumuskan melalui persetujuan rakyat menurut sistem demokrasi yang dianutnya.
Pemilihan model kebijakan imperatif dan indikatif selain banyak ditentukan oleh sistem politik negara yang bersangkutan, juga ditentukan pula oleh kesediaan SDM, tersedianya fasilitas dan dana, serta oleh berjalannya mekanisme pasar. Di negara-negara berkembang, dimana tingkat kesejahteraan sosialnya masih rendah serta mekanisme pasar belum berjalan optimal, permasalahan kebijakan sosial masih diarahkan pada pemenuhan kebutuhan dasar dan pemecahan masalah sosial massal sepeti kemiskinan dan keterbelakangan. Permasalahan sosial ini satu sama lain saling terkait sehingga diperlukan kebijakan yang terintegrasi dan menyeluruh. Karena alasan inilah, pemerintah di negara-negara berkembang seringkali lebih memilih kebijakan imperatif dimana peran perencanaan pembangunan sebagian besar dilaksanakan oleh pemerintah.
2.         Berdasarkan ruang lingkup dan cakupannya
Dilihat dari cakupannya (covarage), dikenal Model Universal dan Model Selektifitas. Model universal adalah kebijakan sosial yang diarahkan untuk mengatur dan memenuhi kebutuhan pelayanan sosial warga masyarakat secara menyeluruh, tanpa membedakan usia, jenis kelamin, dan status sosial. Dengan demikian, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pelayanan sosial. Pelayanan sosial disediakan bagi semua orang atau setidaknya semua orang dalam kelompok tertentu, tanpa dibatasi oleh kemampuan dan karakteristik tertentu, tanpa dibatasi oleh kemampuan dan karakteristik tertentu. Setiap orang dapat dan bebas untuk menggunakan pelayanan sosial yang tersedia, tergantung pada kemauannya. Prinsip kebijakan model ini adalah pencapaian ‘social minimum’, yakni semua orang membayar tingkatan jumlah yang sama dan menerima tingkatan jumlah yang sama pula.
Berbeda dengan model universal, kebijakan sosial yang bersifat selektivitas ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sosial warga masyarakat tertentu saja. Prinsip selektivitas menyatakan bahwa pelayanan sosial hanya diberikan pada meraka yang membutuhkan pelayanan sosial saja, yaitu mereka yang mengalami masalah dan membutuhkan pelayanan tertentu. Syarat utama untuk memperoleh pelayanan biasanya ditentukan atas dasar ‘ketidakmampuannya’ yang umumnya dilihat dari aspek pendapatan ‘income’. Warga masyarakat yang berpendapatan dibawah garis kemiskinan, para orang tua terlantar, anak terlantar yang tidak memenuhi kebutuhan hidupnya secara adekuat adalah mereka yamg dianggap layak menjadi sasaran kebijakan sosial, baik dalam bentuk asuransi kesejahteraan (welfare insurance) maupun bantuan sosial (social assistance). Karena itu, model ini biasanya menggunakan pendekatan means-test (test kemiskinan) atau needs test (test kebutuhan) untuk menentukan ejibilitas pelayanan sosial.

3.         Berdasarkan keajegan atau keberlanjutannya
Model Residual dan Model Institusinal adalah dua model kebijakan sosial dilihat dari keajegan dan keberlanjutannya pelayanan sosial. Sejarah kesejahteraan sosial berawal dari konsepsi mengenai ‘normal’ dan ‘tidak normal’ yang menujuk pada kemampuan manusia di dalam melaksanaan peranan-peranan sosialnya  (keberfungsian sosial). Manusia normal dengan sendirinya akan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya  melalui kekuatannya sendiri dan dengan dukungan dari lembaga-lembaga primer dan alamiah, yakni keluarga dan pasar. Menurut model residual, kebijakan sosial hanya diperlukan apabila lembaga-lembaga alamiah, yang karena suatu sebab (misalnya keluarga kehilangan pencari nafkah karena meninggal dunia) tidak dapat menjalankan peranannya. Pelayanan sosial yang diberikan biasanya bersifat temporer, dalam arti segara dihentikan manakala lembaga tersebut dapat berfungsi kembali. Bantuan finansial untuk pengangguran atau korban bencana alam, umunya diberikan melalui model residual.
Menurut model institusional, kebijakan sosial perlu dirumuskan tanpa mempertimbangkan berfungsi-tidaknya lembaga-lembaga alamiah. Pelayanan sosial yang diberikan bersifat ajeg, melembaga, dan berkesinambungan. Skema bantuan pendidikan, perumahan biasanya dilaksanakan berdasarkan model instituasional.
Merujuk pada sifat-sifat diatas, maka model kebijakan sosial residual sering disebut sebagai model kuratif, sementara model kebijakan sosial institusional tidak jarang disebut sebagai model antisipatif.
4.         Berdasarkan jenis permasalahan atau sasarannya
Menurut jenis permasalahnnya, kebijakan sosial dapat dikelompokkan ke dalam Model Kategorikal dan Model Komprehensif. Kebijakan sosial kategorikal adalah kebijakan yang hanya difokuskan untuk mangatasi suatu permasalahan tertentu. Kebijakan sosial dibidang pendidikan, bidang perumahan, bidang ketenagakerjaan adalah contoh kebijakan sosial yang bersifat kategorikal. Berbeda dengan model kategorikal yang bersifat spesifik dan parsial, model komprehensif diarahkan tidak hanya untuk mengatasi satu bidang masalah saja, melainkan beberapa masalah sosial yang terkait diatur dan dirumuskan secara terintegrasi dalam satu formulasi kebijakan sosial terpadu.
Model-model diatas dalam kenyatannya seringkali sulit untuk dipisahkan secara tegas satu satu sama lain. Karena antara satu model kebijakan dengan model lainnya saling terkait secara simultan. Model-model kebijakan tidaklah bersifat alternatif, melainkan bersifat konvergensi dan sinergis. Namun demikian, pengaktegorian model-model kebijakan di atas tentunya dapat membantu kita dalam menentukan fokus, tujuan, dan sasaran kebijakan sosial.
C.      Model Perumusan Kebijakan Sosial
Selain model kebijakan sosial menunjuk pada bentuk dan pendekatan kebijakan sosial, model kebijakan sosial juga dapat dibuat dalam kaitannya dengan perumusan kebijakan sosial. Model seperti ini menunjuk pada proses perumusan kebijakan sosial. Namun demikian, model tersebut bukanlah suatu proses yang kaku. Karenanya tidak ada ‘cetak biru’ khusus yang harus dikuti secara tertutup. Langkah-langkah dalam model perumusan kebijakan sosial dibawah ini hanyalah berfungsi sebagai pedoman yang memandu proses perumusan kebijakan. Menurut Gilbert dan Specht (1986), sedikitnya ada tiga model yang dapat diikuti untuk merumuskan kebijakan sosial, sebagaimana dijelaskan oleh tabel 1.1 berikut ini:
Model A
Perencanaan
Model B
Pembuatan kebijakan
Model C
Pengembangan Kebijakan
1.      Dorongan Perencanaan
2.      Eksploitasi/Penelitian
3.      Pendefinisisan Tugas-tugas Perencanaan
4.      Perumusan Kebijakan
5.      Perumusan Program
6.      Evaluasi
1.      Pengidentifikasian Masalah
2.      Perumusan Kebijakan
3.      Legitimasi Kebijakan
4.      Implementasi Kebijakan
5.      Evaluasi Kebijakan
1.      Perencanaan Kebijakan
2.      Pengembangan dan Implementasi Program
3.      Evaluasi

Tabel diatas memperlihatkan bahwa perumusan kebijakan dapat dilakukan melalui beberapa tahap yang berbeda namun memiliki kesamaan. Model A yang dikembangkan oleh Alfred J.Kahn merumuskan kebijakan dalam kaitannya dengan perencanaan sosial. Kebijakan sosial merupakan bagian dari suatu proses perencanaan yang terdiri dari enam langkah. Model ini disebut sebagai model ‘Proses Perencanaan’ (Planning Process Model). Model B yang dikembangkan oleh Dinitto dan Dye merumuskan kebijakan dalam lima tahap. Model ini dikenal dengan istilah Model ‘Proses Pembuatan Kebijakan’ (policy making process model). Freeman dan Sherwood yang mengembangkan Model C, yakni Model ‘Proses Pengembangan Kebijakan’ (social-policy development process model) mengemas proses pembuatan kebijakan hanya dalam 3 tahap. Bila diamati, meskipun masing-masing model memiliki tahap yang berbeda, pada dasarnya memiliki kesamaan dimana model C merupakan penyederhanaan dari model B dan A, atau sebaliknya. Model A merupakan pengembangan dari model B dan C. Berdasarkan model-model tersebut, kita dapat merumuskan kebijakan dalam 3 (tiga) tahap: Identifikasi, Implementasi dan Evaluasi. Setiap tahap terdiri dari beberapa langkah yang saling terkait. Karena melibatkan tiga tahapan yang saling terkait, model perumusan kebijakan dapat disebut sebagai ‘segitiga perumusan kebijakan’.
IDENTIFIKASI
 
Gambar 1.1


 



1.         Tahap Identifikasi
a.         Identifikasi Masalah dan Kebutuhan: Tahap pertama dalam  perumusan kebijakan sosial adalah mengumpulkan data mengenai permasalahan sosial yang dialami masyarakat dan mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi (unmet needs).
b.         Analisis Masalah dan Kebutuhan: Tahap berikutnya adalah mengolah, memilah dan memilih data mengenai masalah dan kebutuhan masyarakat yang selanjutnya dianalisis dan ditransformasikan kedalam laporan yang terorganisasi. Informasi yang perlu diketahui antara lain: apa penyebab masalah dan apa kebutuhan masyarakat? dampak apa yang mungkin timbul apabila masalah tidak dipecahkan dan kebutuhan tidak dipenuhi? Siapa dan kelompok mana yang terkena masalah?.
c.         Pengimformasian Rencana Kebijakan: Berdasarkan laporan hasil analisis disusunlah rencana kebijakan. Rencana ini kemudian disampaikan kepada berbagai subsistem masyarakat yang terkait dengan isu-isu kebijakan sosial untuk memperoleh masukan dan tanggapan. Rencana ini dapat pula diajukan kepada lembaga-lembaga perwakilan rakyat untuk dibahas dan disetujui.
d.        Perumusan Tujuan Kebijakan: Setelah mendapat berbagai saran dari masyarakat dilakukanlah berbagai diskusi dan pembahasan untuk memperoleh alternatif-alternatif kebijakan. Beberapa alternatif kemudian di analisis kemudian dipertajam menjadi tujuan-tujuan kebijakan.
e.         Pemilihan Model Kebijakan: Pemilihan model kebijakan dilakukan terutama untuk menentukan pendekatan, metode dan strategi yang paling efektif dan efisien mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Pemilihan model ini juga dimaksudkan untuk memperoleh basis ilmiah dan prinsip-prinsip kebijakan sosial yang logis, sistematis, dan dapat dipertanggungjawabkan.
f.          Penentuan Indikator Sosial: Agar pencapaian tujuan dan pemilihan model kebijakan dapat terukur secara objektif maka perlu dirumuskan indikator-indikator sosial yang berfungsi sebagai acuan, ukuran atau standar bagi rencana tindak dan hasil-hasil yang akan dicapai.
g.         Membangun Dukungan dan Legitimasi Publik: Tugas pada tahap ini adalah mengimformasikan kembali rencana kebijakan yang telah disempurnakan. Selanjutnya melibatkan berbagai pihak yang relevan dengan kebijakan, melakukan lobi, negosiasi dan koalisi dengan berbagai kelompok-kelompok masyarakat agar tercapai konsensus dan kesepakatan mengenai kebijakan sosial yang akan diterapkan.
2.         Tahap Implementasi
a.         Perumusan Kebijakan: Rencana kebijakan yang sudah disepakati bersama dirumuskan kedalam strategi dan pilihan tindakan beserta pedoman peraturan pelaksanaannya.
b.         Perancangan dan Implementasi Program: Kegiatan utama pada tahap ini adalah mengoperasionalkan kebijakan kedalam usulan-usulan program (program proposal) atau proyek sosial untuk melaksanakan atau diterapkan kepada sasaran program.
3.         Tahap Evaluasi
Evaluasi dan Tindak Lanjut: Evaluasi dilakukan baik terhadap proses maupun hasil implementasi kebijakan. Penilaian terhadap proses kebijakan difokuskan pada tahapan perumusan kebijakan, terutama untuk melihat keterpaduan antar tahapan, serta sejauhmana program dan pelayanan sosial mengikuti garis kebijakan yang telah ditetapkan. Penilaian terhadap hasil dilakukan untuk melihat pengaruh atau dampak kebijakan, sejauhmana kebijakan mampu mengurangi dan mengatasi masalah. Berdasarkan evaluasi ini, dirumuskan kelebihan dan kekurangan kebijkan yang akan dijadikan masukan bagi penyempurnaan kebijakan berikutnya atau perumusan kebijakan baru.
D.      Studi Kasus Kebijakan Sosial
Eksploitasi Pekerja Anak di Indonesia: Analisis dan Rekomendasi
Oleh Atirista Nainggolan.
1.         Pendahuluan
Anak adalah generasi yang akan menjadi penerus bangsa. Mereka harus mempersiapkan dan diarahkan sejak dini agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang sehat jasmani dan rohani, maju, mandiri, dan sejahtera menjadi sumber daya yang berkualitas dan dapat menghadapi tantangan dimasa yang akan datang. Mengingat masa anak-anak merupakan proses pertumbuhan, baik fisik maupun jiwa, maka idealnya anak-anak harus terhindar dari berbagai perilaku yang menganggu pertumbuhan tersebut. Oleh karena itu anak-anak perlu dijamin hak-haknya, seperti: mendapat pendidikan, perawatan kesehatan, dan bermain. Akan tetapi, keadaan sosial ekonomi, budaya, politik telah mengakibatkan tidak sedikit anak-anak yang harus kehilangan hak-haknya. Salah satu bentuk hilangnya hak-hak anak adalah cepatnya anak-anak terjun ke dunia kerja. Dari satu sisi kondisi tersebut sungguh memprihatinkan. Akan tetapi di sisi lain, memperkerjakan anak-anak bagi sebagian masyarakat merupakan kebutuhan, terutama bagi masyarakat miskin. Oleh karena itu, pekerja anak tidak dapat dihapuskan begitu saja, tetapi harus dikurangi secara bertahap lewat perencanaan yang matang dan hati-hati.
Melihat permasalahan pekerja anak yang sedemikian kompleks, maka untuk sementara waktu, pekerja anak dapat ditolerir keberadaannya. Akan tetapi, toleransi tersebut ternyata tidak sedikit yang dimanfaatkan oleh pengusaha atau majikan untuk mengeksploitasi pekerja anak, padahal peraturan telah sedemikian ketat membatasi hal-hal yang tidak beleh dibebankan kepada pekerja anak.
Pengertian dari eksploitasi anak adalah anak-anak yang bekerja di usia dini (di bawah usia 15 tahun), karena kondisi ekonomi maupun kondisi lainnya terpaksa bekerja dengan upah yang sangat buruk, jam kerja lebih dari 20 jam per minggu dan belum/tidak pernah sekolah atau tidak sekolah lagi.
2.         Deskripsi Masalah
Keadaan perekonomian negara yang lagi terpuruk mempunyai pengaruh terhadap munculnya pekerja anak. Namun, persoalan pekerja anak tidak hanya ada di negara-negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga terdapat di negara maju. Keberadaan pekerja anak di negara maju juga dikatakan Bellamy (1997), dengan menunjukkan adanya perbedaaan tujuan anak-anak bekerja. Di negara-negara maju, anak-anak bekerja untuk uang saku, sedangkan di negara-negara berkembang anak bekerja untuk membantu penghasilan keluarga. Di negara-negara berkembang, umumnya pekerja anak kurang mendapat perlindungan, sehingga sangat rentan untuk dieksploitasi dan dipekerjakan di lingkungan yang berbahaya.
Permasalahan pekerja anak menyangkut eksploitasi terhadap anak-anak atau menempatan anak-anak di lingkungan pekerjaan yang berbahaya. Oleh karena itu, permasalahan tersebut menjadi prioritas ILO untuk menghapusnya.
Berdasarkan data Susenas 2000 KOR, anak-anak usia 10-14 tahun sebanyak 20.640.950 jiwa. Dan jumlah pekerja anak di Indonesia tahun 2000 diperkirakan sebanyak 1.394.824 jiwa. Dari jumlah pekerja anak tersebut 82% berada di pedesaan sedangkan 18% berada di  perkotaan. Terlihat bahwa pekerja anak di daerah pedesaan lebih besar daripada jumlah pekerja anak di perkotaan.
Dari beberapa penelitian tentang pekerja anak dapat disimpulkan beberapa faktor penyebab pekerja anak, antara lain:
a.         Kemikinan merupakan faktor pendorong utama bagi anak-anak masuk ke pasar tenaga kerja. ILO dan UNICEF (1994) menyebutkan kemiskinan merupakan akar permasalahan terdalam dan faktor utama anak-anak terjun kedunia kerja. Di Indonesia kemiskinan pun menjadi penyebab utama anak-anak bekerja untuk membantu meningkatkan pendapatan rumah tangga.
b.         Rendahkan tingkat pendidikan kepala rumah tangga, mempunyai pengaruh terhadap timbulnya pekerja anak.
c.         Adanya konsumenrisme dan gaya hidup di kalangan muda (Irwanto, 1999).
d.        Adanya pihak-pihak tertentu yang tega mengeksploitasi anak-anak, karena anak-anak lebih mudah dieksploitasi, anak-anak mau melakukan apa saja yang diperintahkan, anak-anak lebih banyak tidak berdaya, tidak berorganisasi untuk melawan penindasan, dan dapat disiksa secara fisik tanpa melakukan perlawanan (Bellamy, 1997).
e.         Masalah psikososial juga dapat menjadi faktor penyebab terjunnya anak-anak ke dunia kerja, seperti: dipaksa orang tua, perilaku salah orang tua, mencari pengalaman, suasana rumah yang kurang baik, dan sebagainya (Pemetaan dan Survei Anak Jalanan 1999).
Eksploitasi terhadap pekerja anak dapat menimbulkan berbagai gangguan pada anak, baik fisik maupun mental. Myers menggambarkan beberapa aspek eksploitasi anak yang dapat mengancam tumbuh kembang anak, yaitu terganggunya:
a.       Pertumbuhan fisik, termasuk kesehatan secara menyeluruh, koordinasi, kekuatan, penglihatan, dan pendengaran.
b.      Pertumbuhan kognitif, termasuk melek huruf, melek angka, dan memperleh pengetahuan yang diperlukan untuk kehidupan normal.
c.       Pertumbuhan emosional, termasuk harga diri, ikatan keluarga, perasaan dicintai dan diterima secara memadai.
d.      Pertumbuhan sosial dan moral termasuk rasa identitas kelompok, kemauan untuk bekerja sama dengan orang lain, dan kemampuan untuk membedakan yang benar dan yang salah.
Melihat jenis pekerjaan anak-anak yang dieksploitasi di Indonesia, maka dapat dipastikan dampak yang disebutkan diatas juga dapat mengancam pekerja anak di Indonesia. Pekerja di Jermal misalnya bukan hanya menggunakan segenap tenaganya, tetapi juga terancam jiwanya. Kerja fisik yang berat selama bertahun-tahun dapat menghambat perawatan fisik anak-anak hingga 30% dari potensi biologis mereka, karena mereka mengeluarkan cadangan stamina yang harus bertahan hingga masa dewasa.
Beban kerja yang berat, siksaan dan tekanan psikis yang dirasakan anak-anak yang bekerja di Jermal, membuat anak-anak tersebut putus asa. Mereka nekad melarikan diri dengan berenang sejauh 12 mil untuk menuju pantai dengan resiko tinggi. Disektor jasa terutama hotel dan hiburan, merasa harus melayani para pelanggan yang kebanyakan orang dewasa, sehingga mungkin berpeluang untuk mengalami rayuan seksual. Sedangkan dipabrik-pabrik atau perkebunan, potensi kekerasan seksual dan fisik, terutama bagi pekerja anak perempuan, bertambah bila mereka bekerja lembur di malam hari, dan bila tinggal dalam pengawasan mandor pria dewasa. UNICEF telah menerapkan beberapa kriteria pekerja anak yang eksploitatif, yang bila menyangkut:
a.       Kerja penuh waktu pada umur yang terlalu dini;
b.      Terlalu banyak waktu yang digunakan untuk bekerja;
c.       Pekerjaan yang menimbulkan tekanan fisik, sosial dan psikologis;
d.      Upah yang tidak mencukupi;
e.       Tanggung jawab yang terlalu banyak;
f.       Pekerjaan yang menghambat akses pada pendidikan;
g.      Pekerjaan yang mengurangi martabat dan harga diri anak, seperti: perbudakan atau pekerjaan kontrak paksa dan eksploitasi seksual;
h.      Pekerjaan yang merusak perkembangan sosial serta psikologis.
Untuk mencegah terjadinya eksploitasi terhadap pekerja anak, Indonesia mempunyai perangkat hukum, yaitu Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor. SE-12/M/BW/1997, yang antara lain menuat peraturan mengenai tugas-tugas yang tidak dapat ditolerir untuk diberikan kepada pekerja anak, yaitu:
a.       Mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan pertambangan dan penggalian;
b.      Segala jenis pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan api (termasuk pengelasan);
c.       Segala pekerjaan yang mengharuskan menyelam kedalam laut;
d.      Segala pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan peralatan berat, listrik, dan alat potong;
e.       Mengangkat dan membawa barang-barang berat;
f.       Pekerjaan konstruksi dan penghancuran;
g.      Segala jenis pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan bahan-bahan kimia/substansi yang berbahaya;
h.      Segala jenis pekerjaan yang berhubungan dengan pelacuran dan pornografi;
i.        Segala jenis pekerjaan yang berhubungan dengan produksi dan penjualan minuman keras.
Sekalipun Indonesia telah mempunyai perangkat hukum, ternyata masih banyak anak-anak yang diperlakukan secara eksploitatif sebagaimana kriteria yang ditetapkan UNICEF diatas. Fenomena anak-anak bekerja di Jermal Medan merupakan salah satu contoh. Jermal merupakan unit bangunan tempat penangkapan ikan, dibangun ditengah perairan Selat Malaka, berada disepanjang panjang timur Sumatera Utara. Letaknya tidak kurang dari 6-8 mil dari pantai, terisolir dari komunitas, komunikasi dan nyaris tanpa transportasi. Sofyan (1997) menyebutkan bahwa pekerja di Jermal dapat dikatakan potret kerja paksa yang masih dijumpai di Indonesia.
4.         Pilihan-Pilihan Kebijakan
Salah satu kekhawatiran yang muncul akibat cepatnya anak-anak terjun dalam pasar tenaga kerja adalah sebagaimana diistilahkan Oscar Lewis, yaitu terjadinya “budaya kemiskinan”. Bellamy (1997) menyebutkan bahwa pekerja anak akan terperangkap dalam “lingkaran setan”, karena anak-anak yang bekerja di usia dini, yang biasanya berasal dari keluarga miskin, dengan pendidikan, yang terabaikan, akan tumbuh menjadi seorang dewasa  yang terjebak dalam pekerjaan yang tidak terlatih, dengan upah yang sangat buruk. Anak-anak ini pada gilirannya akan kembali “melahirkan” anak-anak miskin, yang besar kemungkinannya menjadi pekerja anak dan tidak punya kesempatan luas untuk mendapatkan pendidikan yang memadai.
Dalam menyikapi permasalahan eskploitasi pekerja anak di Indonesia, maka ada beberapa alternatif kebijakan guna mengatasi masalah tersebut, antara lain:
a.         Membebaskan uang sekolah bagi anak-anak terutama yang berasal dari keluarga miskin serta memberikan perlengkapan sekolah.
b.        Jenis pendidikan tidak harus pendidikan formal, terutama bagi pekerja anak yang telah putus sekolah, tetapi dapat berbentuk keterampilan seperti kursus menjahit, kursus montir dan sebagainya.
c.         Undang-Undang Ketenagakerjaan yang sekarang berlaku, sesungguhkan dapat diartikan bahwa Pemerintah telah melegalkan pekerja anak. Untuk menghindari eksploitasi berdasarkan upah maka sebaiknya Pemerintah membuat batasan upah terendah bagi anak-anak.
d.        Tingkat pendidikan kepala rumah tangga pekerja anak yang rendah mempunyai pengaruh bagi timbulnya pekerja anak. Oleh karena itu, pemberian informasi melalui lembaga-lembaga di lingkungannya dengan melibatkan tokoh agama atau tokoh masyarakat adalah sangat penting.
e.         Anak-anak perempuan perlu mendapat perhatian yang serius, sebab anak-anak tersebut adalah calon ibu bagi generasi berikutnya.
f.         Memberikan kredit lunak bagi pengusah kecil, membenahi sistem pemasaran produk pertanian dan industri kecil guna mengatasi kemiskinan sebagai penyebab utama pekerja anak.
g.        Pekerja anak sulit ditangani bila permasalahannya dilakukan oleh berbagai instansi yang dilakukan dengan pendekatan yang berbeda. Oleh karena itu, alangkah baiknya bila pemerintah membuat instansi sendiri yang khusus menangani permasalahan anak-anak, termasuk pekerja anak.
Setelah memaparkan beberapa alternatif kebijakan guna mengatasi permasalahan pekerja anak, maka kemudian dipilih alternatif kebijakan terbaik, antara lain:
a.         Membebaskan uang sekolah bagi anak-anak terutama yang berasal dari keluarga miskin merupakan langkah yang tepat, meskipun hal ini tidak cukup untuk merangsang atau mempertahankan anak-anak tersebut untuk tetap sekolah. Oleh karena itu perlu disertai dengan memberikan berbagai keperluan lain seperti: seragam, buku-buku, alat tulis, dan sebagainya.
b.        Jenis pendidikan tidak harus pendidikan formal, terutama bagi pekerja anak yang telah putus sekolah, tetapi dapat berbentuk keterampilan, seperti: kursus menjahit, kursus montir, kursus elektronik, dan sebagainya yang siap pakai.
c.         Pemerintah sebaiknya membuat batasan upah terendah bagi anak-anak. Hal itu sangat mendesak untuk diberlakukan karena Undang-Undang Ketenagakerjaan yang sekarang berlaku, sesungguhnya dapat diartikan bahwa pemerintah telah melegalkan pekerja anak. Maka untuk menghindari eksploitasi anak berdasarkan upah maka perlu diatur jam kerja dan upah buruh anak harus segera dibenahi.
5.      Rekomendasi
a.         Upaya penanggulangan masalah pekerja anak perlu dilakukan secara terpadu antara sektor di pusat dan di daerah. Penanggulangan pekerja anak merupakan dilema pemerintah. Menghapus seluruh pekerja anak dalam jangka waktu dekat, dengan kondisi perekonomian negara seperti sekarang ini, tentunya hampir mustahil. Akan tetapi, bukan berarti pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa, karena dapat dibuat prioritas penanggulangannya.
b.        Masalah yang paling mendesak untuk diintervensi adalah eksploitasi pekerja anak, sehingga harus dimasukkan sebagai salah satu program jangka pendek pemerintah. Mengingat pekerja anak yang dieksploitasi adalah buruh, maka tindakan pendekatan terhadap pengusaha/majikan harus segera dilakukan, sebelum melakukan tindakan hukum.
c.         Dalam jangka pendek, agenda pendampingan anak (advokasi anak) masih tetap relevan dilakukan. Program pendampingan bukan semata-mata ditujukan untuk membantu pekerja anak mengatasi masalah mereka selama bekerja, melainkan lebih ditujukan untuk mengangkat dan mendewasakan pekerja anak, baik dari segi pengembangan kualitas kerja (to develop skill) maupun pengembangan pribadi sebagai manusia (to develop personality).
d.        Dalam jangka panjang perlu dibuat program untuk menghapuskan pekerja anak, terutama yang merugikan anak-anak itu sendiri, baik secara fisik maupun psikis. Anak-anak yang berasal dari rumah tangga miskin, mempunyai kepala keluarga yang berpendidikan rendah, bekerja di sektor pertanian dan sektor informal dapat dijadikan prioritas dalam program jangka panjang ini.




DAFTAR PUSTAKA

Suharto, Edi. 2008. Analisis Kebijakan Publik (Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial). Cet-4. Bandung: Alfabeta.
Sofyan, Ahmad. 1997. Kompleksitas Masalah Pekerja Anak, Populasi Vol.8 Nomor 2 Tahun 1997.
Usman, Hardius dan Nachrowi D.N. 2004. Pekerja Anak Di Indonesia, Kondisi, Determinan, dan Eksploitasi. Jakarta: Grasindo.