BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Tujuan Kebijakan Sosial
Dalam
konteks pembangunan sosial, kebijakan sosial adalah seperangkat tindakan (course of action), kerangka kerja (framework), petunjuk (guideline), rencana (plan), peta (map), atau strategi, yang dirancang untuk menerjemahkan visi politis
pemerintah atau lembaga pemerintah kedalam program dan tindakan untuk mencapai
tujuan tertentu (tujuan-tujuan pembangunan) di bidang kesejahteraan sosial (social welfare).
Kebijakan sosial
seringkali menyentuh, berkaitan atau bahkan selintas, bertumpang tindih (overlaping) dengan bidang lain yang
umumnya dikategorikan sebagai bidang sosial, semisal kesehatan, pendidikan,
perumahan, atau makanan. Lebih dari itu ‘sosial’ tidak jarang diartikan secara
luas sebagai, kegiatan kesukarelawan, hiburan, rekreasi, sesuatu yang bersifat
non-fisik atau non-ekonomi. Spicker (1999:5) membantu mempertegas substansi
kebijakan sosial dengan menyajikan tiga karakteristik atau aras pendefinisi
kebijakan sosial.
1.
Social
Policy is about policy. Kebijakan sosial adalah tentang
‘kebijakan’. Artinya, meskipun kebijakan sosial bersentuhan dengan bidang
makanan, pendidikan, dan kesehatan, ia memilki fokus dan urusannya sendiri,
yakni menyangkut urusan ‘kebijakan’. Elemen utama ‘kebijakan adalah tujuan
proses implementasi dan pencapaian hasil suatu inisiatif atau keputusan
kolektif yang dibuat oleh, misalnya, departemen-departemen pemerintah (pada
tingkat makro) atau lembaga-lembaga pelayanan sosial (pada skala mikro).
Karenanya meskipun kebijakan sosial tidak jarang berhubungan dengan ‘makanan’,
ia tidak mempelajari atau mengurusi soal makanan itu sendiri; melainkan dengan
regulasi dan distribusi makanan tersebut. Kebijakan sosial tidak secara
langsung berhubungan dengan perkembangan anak (child development), tetapi dengan pendidikan dan pelayanan sosial
untuk membantu dan mengatasi kesulitan anak-anak tumbuh dan berkembang. Kebijakan
sosial juga tidak mengurusi persoalan kesehatan fisik – karena merupakan domain
kedokteran, tetapi ida sangat berkaitan dengan kebijakan-kebijakan untuk
mempromosikann kesehatan dan pemberian perawatan kesehatan, khususnya yang
menyangkut jaminan sosial kesehatan (di AS disebut Medicare dan Medicaid).
2.
Social
policy ic concerned with issues that are social.
Kebijakan sosial berurusan dengan isu-isu yang bersifat sosial. Namun, arti
sosial disini tidak bersifat luas. Melainkan merujuk pada beragam respon
kolektif yang dibuat guna mengatasi masalah sosial yang dirasakan oleh publik.
Istilah sosial menunjuk pada “....somekind
of collective social respone made to perceived problem.” Demikian yang
dikemukakan Spicker.
3.
Social
policy is about welfare. Secara luas, welfare dapat diartikan sebagai ‘well-being’ atau ‘kondisi sejahtera’. Namun, welfare juga berarti “The provision
of social services provided by the state” dan sebagai “Certain types of benefit, especially means-tested social security,
aimed at poor people.”
Urusan kesejahteraan
sosial senantiasa menyangkut orang banyak, maka kebijakan sosial seringkali
diidentikan dengan kebijakan publik. Pembahasan ini mengambil posisi seperti
ini. Kesejahteraan sosial senantiasa berorientasi kepada pencapaian tujuan
sosial. Tujuan sosial ini mengandung dua pengertian yang saling terkait, yakni:
memecahkan masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial.
Tujuan pemecahan
masalah mengandung arti mengusahakan atau mengadakan perbaikan karena ada
sesuatu keadaan yang tidak diharapkan (misalnya kemiskinan) atau kejadian yang
bersifat deskruktif atau patologis yang mengganggu dan merusak tatanan
masyarakat (misalnya kenakalan remaja, eksploitasi pekerja anak). Tujuan
pemenuhan kebutuhan mengandung arti menyediakan pelayanan-pelayanan sosial yang
diperlukan, baik dikarenakan adanya masalah maupun tidak ada masalah, dalam arti
bersifat pencegahan (mencegah terjadinya masalah, mencegah tidak terulang atau
timbul lagi masalah atau mencegah meluasnya masalah) atau pengembangan
(peningkatan kualitas suatu kondisi agar lebih baik dari keadaan sebelumnya).
Secara lebih rinci, tujuan-tujuan kebijakan sosial adalah:
1.
Mengantisipasi, mengurangi, atau
mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
2.
Memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu,
keluarga, kelompok atau masyarakat yang tidak dapat mereka penuhi secara
sendiri-sendiri melainkan harus melalui tindakan kolektif.
3.
Meningkatkan hubungan intrasosial
manusia dengan mengurangi kedisfungsian sosial individu atau kelompok yang
disebabkan oleh faktor-faktor internal-personal maupun eksternal-struktural.
4.
Meningkatkan situasi dan lingkungan
sosial-ekonomi yang kondusif bagi upaya pelaksanaan peranan-peranan sosial dan
pencapaian kebutuhan masyarakat sesuai dengan hak, harkat, dan martabat
kemanusiaan.
5.
Menggali, mengalokasikan dan
mengembangkan sumber-sumber kemasyarakatan demi tercapainya demi tercapainya
kesejahteraan sosial dan keadilan sosial.
Menurut David Gil
(1973), demi mencapai tujuan-tujuan kebijakan sosial, terdapat perangkat dan
mekanisme kemasyarakatan yang perlu diubah, yaitu yang menyangkut:
1.
Pengembangan sumber-sumber.
Pengembangan
sumber-sumber meliputi pembuatan keputusan-keputusan masyarakat dan penentuan
pilihan-pilihan tindakan berkenaan dengan jenis, kualitas, dan kuantitas semua
barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang ada dalam masyarakat.
2.
Pengalokasian status.
Pengalokasian status
menyangkut peningkatan dan perluasan akses serta keterbukaan kriteria dalam
menentukan akses tersebut bagi anggota masyarakat. Kebijakan sosial harus
memiliki efek pada penghilangan segala bentuk diskriminasi. Kebijakan sosial
harus mendorong bahwa semua anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama
untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan yang layak, berserikat dan berkumpul
dalam organisasi sosial, tanpa mempertimbangkan usia, jenis kelamin, status
sosial ekonomi, ras, suku bangsa dan agama.
3.
Pendistribusian hak.
Pendistribusian hak menunjuk pada
perluasan kesempatan individu kelompok dalam mengontrol sumber-sumber material
dan non material. Apakah semua anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama
dalam berpartisipasi dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang menyangkut kehidupan mereka? Sejauhmana
individu dan kelompok dapat mengontrol distribusi dan kesempatan dalam
pengambilan keputusan-keputusan penting dalam kehidupannya? Dengan kata lain
pendistribusian hak, berkaitan dengan pendistribusian kekuasan dan penguasaan
sumber-sumber yang lebih adil. Selain itu, pendistribusian hak juga menunjuk
pada usaha-usaha pemerataan sumber-sumber dari golongan kaya ke golongan miskin.
Ketiga
aspek tersebut merupakan kerangka acuan dalam menentukan tujuan kebijakan
sosial. Kebijakan sosial harus memperhatikan distribusi barang dan pelayanan,
kesempatan, dan kekuasaan yang lebih luas, adil dan merata bagi segenap warga
masyarakat.
B. Model Kebijakan Sosial
Model kebijakan
sosial dapat dikelompokkan menjadi beberapa ketegori berdasarkan pelaksanaannya,
ruang lingkupnya & cakupannya, keajegan & keberlanjutannya, dan jenis permasalahan
dan sasarannya.
1.
Berdasarkan pelaksanaannya
Berdasarkan
pelaksanaannya, model kebijakan sosial dapat dibagi dua, yakni Model Imperatif
dan Model Indikatif. Model kebijakan sosial imperatif adalah kebijakan sosial
terpusat, yakni seluruh tujuan sosial, jenis, sumber, dan jumlah pelayanan
sosial, seluruhnya telah ditentukan oleh pemerintah. Kebijakan seperti ini
menunjuk pada pengertian kebijakan sosial yang dinyatakan oleh Dye (1976): “social policy is concerned with what
goverments do, whay they do it, and what difference it makes.”
Kebijakan
indikatif adalah kebijakan sosial yang mengupayakan kesamaan visi dan aspirasi
seluruh masyarakat. Pemerintah biasanya hanya menentukan sasaran kebijakan secara
garis besar, sedangkan pelaksanaannya dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat atau
badan-badan swasta (Lembaga Swadaya Masyarakat atau organisasi sosial).
Kebijakan sosial indikatif sering pula disebut
sebagai kebijakan sosial partisipatif.
Kebijakan
imperatif banyak dipraktikkan di negara-negara sosialis selama lebih dari setengah
abad. Meski dengan wajah yang agak berbeda, negara-negara berkembang seperti
India, Afrika, dan Amerika Latin juga menerapkan model kebijakan ini. Sementara
itu di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang,
kebijakan sosialnya lebih bersifat indikatif. Usaha-usaha kesejahteraan sosial
yang dikelola sektor masyarakat dan swasta tidak dikontrol secara ketat.
Pemerintah hanya menyediakan berbagai fasilitas dasar dan mengidentifikasikan
bidang-bidang pelayanan sosila tertentu yang menjadi prioritas bersama.
Kebijakan sosial indikatif erat kaitannya dengan sistem demokrasi, karena
penuntuan kebijakan sosial dirumuskan melalui persetujuan rakyat menurut sistem
demokrasi yang dianutnya.
Pemilihan
model kebijakan imperatif dan indikatif selain banyak ditentukan oleh sistem politik
negara yang bersangkutan, juga ditentukan pula oleh kesediaan SDM, tersedianya
fasilitas dan dana, serta oleh berjalannya mekanisme pasar. Di negara-negara
berkembang, dimana tingkat kesejahteraan sosialnya masih rendah serta mekanisme
pasar belum berjalan optimal, permasalahan kebijakan sosial masih diarahkan
pada pemenuhan kebutuhan dasar dan pemecahan masalah sosial massal sepeti
kemiskinan dan keterbelakangan. Permasalahan sosial ini satu sama lain saling
terkait sehingga diperlukan kebijakan yang terintegrasi dan menyeluruh. Karena
alasan inilah, pemerintah di negara-negara berkembang seringkali lebih memilih
kebijakan imperatif dimana peran perencanaan pembangunan sebagian besar
dilaksanakan oleh pemerintah.
2.
Berdasarkan ruang lingkup dan cakupannya
Dilihat
dari cakupannya (covarage), dikenal Model
Universal dan Model Selektifitas. Model universal adalah kebijakan sosial yang
diarahkan untuk mengatur dan memenuhi kebutuhan pelayanan sosial warga
masyarakat secara menyeluruh, tanpa membedakan usia, jenis kelamin, dan status
sosial. Dengan demikian, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk
memperoleh pelayanan sosial. Pelayanan sosial disediakan bagi semua orang atau
setidaknya semua orang dalam kelompok tertentu, tanpa dibatasi oleh kemampuan
dan karakteristik tertentu, tanpa dibatasi oleh kemampuan dan karakteristik
tertentu. Setiap orang dapat dan bebas untuk menggunakan pelayanan sosial yang
tersedia, tergantung pada kemauannya. Prinsip kebijakan model ini adalah
pencapaian ‘social minimum’, yakni
semua orang membayar tingkatan jumlah yang sama dan menerima tingkatan jumlah
yang sama pula.
Berbeda
dengan model universal, kebijakan sosial yang bersifat selektivitas ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan sosial warga masyarakat tertentu saja. Prinsip
selektivitas menyatakan bahwa pelayanan sosial hanya diberikan pada meraka yang
membutuhkan pelayanan sosial saja, yaitu mereka yang mengalami masalah dan
membutuhkan pelayanan tertentu. Syarat utama untuk memperoleh pelayanan
biasanya ditentukan atas dasar ‘ketidakmampuannya’ yang umumnya dilihat dari
aspek pendapatan ‘income’. Warga
masyarakat yang berpendapatan dibawah garis kemiskinan, para orang tua
terlantar, anak terlantar yang tidak memenuhi kebutuhan hidupnya secara adekuat
adalah mereka yamg dianggap layak menjadi sasaran kebijakan sosial, baik dalam
bentuk asuransi kesejahteraan (welfare
insurance) maupun bantuan sosial (social
assistance). Karena itu, model ini biasanya menggunakan pendekatan means-test (test kemiskinan) atau needs test (test kebutuhan) untuk menentukan
ejibilitas pelayanan sosial.
3.
Berdasarkan keajegan atau
keberlanjutannya
Model
Residual dan Model Institusinal adalah dua model kebijakan sosial dilihat dari
keajegan dan keberlanjutannya pelayanan sosial. Sejarah kesejahteraan sosial
berawal dari konsepsi mengenai ‘normal’ dan ‘tidak normal’ yang menujuk pada
kemampuan manusia di dalam melaksanaan peranan-peranan sosialnya (keberfungsian sosial). Manusia normal dengan
sendirinya akan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya melalui kekuatannya sendiri dan dengan
dukungan dari lembaga-lembaga primer dan alamiah, yakni keluarga dan pasar.
Menurut model residual, kebijakan sosial hanya diperlukan apabila
lembaga-lembaga alamiah, yang karena suatu sebab (misalnya keluarga kehilangan
pencari nafkah karena meninggal dunia) tidak dapat menjalankan peranannya.
Pelayanan sosial yang diberikan biasanya bersifat temporer, dalam arti segara
dihentikan manakala lembaga tersebut dapat berfungsi kembali. Bantuan finansial
untuk pengangguran atau korban bencana alam, umunya diberikan melalui model
residual.
Menurut
model institusional, kebijakan sosial perlu dirumuskan tanpa mempertimbangkan
berfungsi-tidaknya lembaga-lembaga alamiah. Pelayanan sosial yang diberikan
bersifat ajeg, melembaga, dan berkesinambungan. Skema bantuan pendidikan,
perumahan biasanya dilaksanakan berdasarkan model instituasional.
Merujuk
pada sifat-sifat diatas, maka model kebijakan sosial residual sering disebut
sebagai model kuratif, sementara model kebijakan sosial institusional tidak
jarang disebut sebagai model antisipatif.
4.
Berdasarkan jenis permasalahan atau sasarannya
Menurut
jenis permasalahnnya, kebijakan sosial dapat dikelompokkan ke dalam Model Kategorikal
dan Model Komprehensif. Kebijakan sosial kategorikal adalah kebijakan yang
hanya difokuskan untuk mangatasi suatu permasalahan tertentu. Kebijakan sosial
dibidang pendidikan, bidang perumahan, bidang ketenagakerjaan adalah contoh
kebijakan sosial yang bersifat kategorikal. Berbeda dengan model kategorikal
yang bersifat spesifik dan parsial, model komprehensif diarahkan tidak hanya
untuk mengatasi satu bidang masalah saja, melainkan beberapa masalah sosial
yang terkait diatur dan dirumuskan secara terintegrasi dalam satu formulasi
kebijakan sosial terpadu.
Model-model
diatas dalam kenyatannya seringkali sulit untuk dipisahkan secara tegas satu satu
sama lain. Karena antara satu model kebijakan dengan model lainnya saling
terkait secara simultan. Model-model kebijakan tidaklah bersifat alternatif,
melainkan bersifat konvergensi dan sinergis. Namun demikian, pengaktegorian
model-model kebijakan di atas tentunya dapat membantu kita dalam menentukan
fokus, tujuan, dan sasaran kebijakan sosial.
C. Model Perumusan Kebijakan Sosial
Selain model
kebijakan sosial menunjuk pada bentuk dan pendekatan kebijakan sosial, model
kebijakan sosial juga dapat dibuat dalam kaitannya dengan perumusan kebijakan
sosial. Model seperti ini menunjuk pada proses perumusan kebijakan sosial.
Namun demikian, model tersebut bukanlah suatu proses yang kaku. Karenanya tidak
ada ‘cetak biru’ khusus yang harus dikuti secara tertutup. Langkah-langkah
dalam model perumusan kebijakan sosial dibawah ini hanyalah berfungsi sebagai
pedoman yang memandu proses perumusan kebijakan. Menurut Gilbert dan Specht
(1986), sedikitnya ada tiga model yang dapat diikuti untuk merumuskan kebijakan
sosial, sebagaimana dijelaskan oleh tabel 1.1 berikut ini:
Model
A
Perencanaan
|
Model
B
Pembuatan
kebijakan
|
Model
C
Pengembangan Kebijakan
|
1.
Dorongan
Perencanaan
2.
Eksploitasi/Penelitian
3.
Pendefinisisan
Tugas-tugas Perencanaan
4.
Perumusan
Kebijakan
5.
Perumusan
Program
6.
Evaluasi
|
1.
Pengidentifikasian Masalah
2.
Perumusan Kebijakan
3.
Legitimasi Kebijakan
4.
Implementasi Kebijakan
5.
Evaluasi Kebijakan
|
1.
Perencanaan Kebijakan
2.
Pengembangan dan Implementasi
Program
3.
Evaluasi
|
Tabel
diatas memperlihatkan bahwa perumusan kebijakan dapat dilakukan melalui
beberapa tahap yang berbeda namun memiliki kesamaan. Model A yang dikembangkan
oleh Alfred J.Kahn merumuskan kebijakan dalam kaitannya dengan perencanaan
sosial. Kebijakan sosial merupakan bagian dari suatu proses perencanaan yang
terdiri dari enam langkah. Model ini disebut sebagai model ‘Proses Perencanaan’
(Planning Process Model). Model B
yang dikembangkan oleh Dinitto dan Dye merumuskan kebijakan dalam lima tahap. Model
ini dikenal dengan istilah Model ‘Proses Pembuatan Kebijakan’ (policy making process model). Freeman
dan Sherwood yang mengembangkan Model C, yakni Model ‘Proses Pengembangan
Kebijakan’ (social-policy development
process model) mengemas proses pembuatan kebijakan hanya dalam 3 tahap.
Bila diamati, meskipun masing-masing model memiliki tahap yang berbeda, pada
dasarnya memiliki kesamaan dimana model C merupakan penyederhanaan dari model B
dan A, atau sebaliknya. Model A merupakan pengembangan dari model B dan C.
Berdasarkan model-model tersebut, kita dapat merumuskan kebijakan dalam 3 (tiga)
tahap: Identifikasi, Implementasi dan Evaluasi. Setiap tahap terdiri dari
beberapa langkah yang saling terkait. Karena melibatkan tiga tahapan yang
saling terkait, model perumusan kebijakan dapat disebut sebagai ‘segitiga
perumusan kebijakan’.
Gambar 1.1
1.
Tahap Identifikasi
a.
Identifikasi Masalah dan Kebutuhan:
Tahap pertama dalam perumusan kebijakan
sosial adalah mengumpulkan data mengenai permasalahan sosial yang dialami
masyarakat dan mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang belum
terpenuhi (unmet needs).
b.
Analisis Masalah dan Kebutuhan: Tahap berikutnya
adalah mengolah, memilah dan memilih data mengenai masalah dan kebutuhan
masyarakat yang selanjutnya dianalisis dan ditransformasikan kedalam laporan
yang terorganisasi. Informasi yang perlu diketahui antara lain: apa penyebab
masalah dan apa kebutuhan masyarakat? dampak apa yang mungkin timbul apabila
masalah tidak dipecahkan dan kebutuhan tidak dipenuhi? Siapa dan kelompok mana
yang terkena masalah?.
c.
Pengimformasian Rencana Kebijakan: Berdasarkan
laporan hasil analisis disusunlah rencana kebijakan. Rencana ini kemudian
disampaikan kepada berbagai subsistem masyarakat yang terkait dengan isu-isu
kebijakan sosial untuk memperoleh masukan dan tanggapan. Rencana ini dapat pula
diajukan kepada lembaga-lembaga perwakilan rakyat untuk dibahas dan disetujui.
d.
Perumusan Tujuan Kebijakan: Setelah mendapat
berbagai saran dari masyarakat dilakukanlah berbagai diskusi dan pembahasan
untuk memperoleh alternatif-alternatif kebijakan. Beberapa alternatif kemudian
di analisis kemudian dipertajam menjadi tujuan-tujuan kebijakan.
e.
Pemilihan Model Kebijakan: Pemilihan model
kebijakan dilakukan terutama untuk menentukan pendekatan, metode dan strategi
yang paling efektif dan efisien mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Pemilihan
model ini juga dimaksudkan untuk memperoleh basis ilmiah dan prinsip-prinsip
kebijakan sosial yang logis, sistematis, dan dapat dipertanggungjawabkan.
f.
Penentuan Indikator Sosial: Agar
pencapaian tujuan dan pemilihan model kebijakan dapat terukur secara objektif
maka perlu dirumuskan indikator-indikator sosial yang berfungsi sebagai acuan,
ukuran atau standar bagi rencana tindak dan hasil-hasil yang akan dicapai.
g.
Membangun Dukungan dan Legitimasi
Publik: Tugas pada tahap ini adalah mengimformasikan kembali rencana kebijakan
yang telah disempurnakan. Selanjutnya melibatkan berbagai pihak yang relevan
dengan kebijakan, melakukan lobi, negosiasi dan koalisi dengan berbagai
kelompok-kelompok masyarakat agar tercapai konsensus dan kesepakatan mengenai
kebijakan sosial yang akan diterapkan.
2.
Tahap Implementasi
a.
Perumusan Kebijakan: Rencana kebijakan
yang sudah disepakati bersama dirumuskan kedalam strategi dan pilihan tindakan
beserta pedoman peraturan pelaksanaannya.
b.
Perancangan dan Implementasi Program: Kegiatan
utama pada tahap ini adalah mengoperasionalkan kebijakan kedalam usulan-usulan
program (program proposal) atau proyek sosial untuk melaksanakan atau
diterapkan kepada sasaran program.
3.
Tahap Evaluasi
Evaluasi
dan Tindak Lanjut: Evaluasi dilakukan baik terhadap proses maupun hasil
implementasi kebijakan. Penilaian terhadap proses kebijakan difokuskan pada
tahapan perumusan kebijakan, terutama untuk melihat keterpaduan antar tahapan,
serta sejauhmana program dan pelayanan sosial mengikuti garis kebijakan yang
telah ditetapkan. Penilaian terhadap hasil dilakukan untuk melihat pengaruh
atau dampak kebijakan, sejauhmana kebijakan mampu mengurangi dan mengatasi
masalah. Berdasarkan evaluasi ini, dirumuskan kelebihan dan kekurangan kebijkan
yang akan dijadikan masukan bagi penyempurnaan kebijakan berikutnya atau
perumusan kebijakan baru.
D. Studi Kasus Kebijakan Sosial
Eksploitasi Pekerja
Anak di Indonesia: Analisis dan Rekomendasi
Oleh Atirista
Nainggolan.
1.
Pendahuluan
Anak
adalah generasi yang akan menjadi penerus bangsa. Mereka harus mempersiapkan
dan diarahkan sejak dini agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang
sehat jasmani dan rohani, maju, mandiri, dan sejahtera menjadi sumber daya yang
berkualitas dan dapat menghadapi tantangan dimasa yang akan datang. Mengingat
masa anak-anak merupakan proses pertumbuhan, baik fisik maupun jiwa, maka
idealnya anak-anak harus terhindar dari berbagai perilaku yang menganggu
pertumbuhan tersebut. Oleh karena itu anak-anak perlu dijamin hak-haknya,
seperti: mendapat pendidikan, perawatan kesehatan, dan bermain. Akan tetapi,
keadaan sosial ekonomi, budaya, politik telah mengakibatkan tidak sedikit
anak-anak yang harus kehilangan hak-haknya. Salah satu bentuk hilangnya hak-hak
anak adalah cepatnya anak-anak terjun ke dunia kerja. Dari satu sisi kondisi
tersebut sungguh memprihatinkan. Akan tetapi di sisi lain, memperkerjakan
anak-anak bagi sebagian masyarakat merupakan kebutuhan, terutama bagi
masyarakat miskin. Oleh karena itu, pekerja anak tidak dapat dihapuskan begitu
saja, tetapi harus dikurangi secara bertahap lewat perencanaan yang matang dan
hati-hati.
Melihat
permasalahan pekerja anak yang sedemikian kompleks, maka untuk sementara waktu,
pekerja anak dapat ditolerir keberadaannya. Akan tetapi, toleransi tersebut
ternyata tidak sedikit yang dimanfaatkan oleh pengusaha atau majikan untuk
mengeksploitasi pekerja anak, padahal peraturan telah sedemikian ketat
membatasi hal-hal yang tidak beleh dibebankan kepada pekerja anak.
Pengertian
dari eksploitasi anak adalah anak-anak yang bekerja di usia dini (di bawah usia
15 tahun), karena kondisi ekonomi maupun kondisi lainnya terpaksa bekerja
dengan upah yang sangat buruk, jam kerja lebih dari 20 jam per minggu dan
belum/tidak pernah sekolah atau tidak sekolah lagi.
2.
Deskripsi Masalah
Keadaan
perekonomian negara yang lagi terpuruk mempunyai pengaruh terhadap munculnya
pekerja anak. Namun, persoalan pekerja anak tidak hanya ada di negara-negara
berkembang seperti Indonesia, tetapi juga terdapat di negara maju. Keberadaan
pekerja anak di negara maju juga dikatakan Bellamy (1997), dengan menunjukkan
adanya perbedaaan tujuan anak-anak bekerja. Di negara-negara maju, anak-anak
bekerja untuk uang saku, sedangkan di negara-negara berkembang anak bekerja
untuk membantu penghasilan keluarga. Di negara-negara berkembang, umumnya
pekerja anak kurang mendapat perlindungan, sehingga sangat rentan untuk
dieksploitasi dan dipekerjakan di lingkungan yang berbahaya.
Permasalahan
pekerja anak menyangkut eksploitasi terhadap anak-anak atau menempatan
anak-anak di lingkungan pekerjaan yang berbahaya. Oleh karena itu, permasalahan
tersebut menjadi prioritas ILO untuk menghapusnya.
Berdasarkan
data Susenas 2000 KOR, anak-anak usia 10-14 tahun sebanyak 20.640.950 jiwa. Dan
jumlah pekerja anak di Indonesia tahun 2000 diperkirakan sebanyak 1.394.824
jiwa. Dari jumlah pekerja anak tersebut 82% berada di pedesaan sedangkan 18%
berada di perkotaan. Terlihat bahwa
pekerja anak di daerah pedesaan lebih besar daripada jumlah pekerja anak di
perkotaan.
Dari
beberapa penelitian tentang pekerja anak dapat disimpulkan beberapa faktor
penyebab pekerja anak, antara lain:
a.
Kemikinan merupakan faktor pendorong
utama bagi anak-anak masuk ke pasar tenaga kerja. ILO dan UNICEF (1994)
menyebutkan kemiskinan merupakan akar permasalahan terdalam dan faktor utama
anak-anak terjun kedunia kerja. Di Indonesia kemiskinan pun menjadi penyebab
utama anak-anak bekerja untuk membantu meningkatkan pendapatan rumah tangga.
b.
Rendahkan tingkat pendidikan kepala rumah
tangga, mempunyai pengaruh terhadap timbulnya pekerja anak.
c.
Adanya konsumenrisme dan gaya hidup di
kalangan muda (Irwanto, 1999).
d.
Adanya pihak-pihak tertentu yang tega
mengeksploitasi anak-anak, karena anak-anak lebih mudah dieksploitasi,
anak-anak mau melakukan apa saja yang diperintahkan, anak-anak lebih banyak
tidak berdaya, tidak berorganisasi untuk melawan penindasan, dan dapat disiksa
secara fisik tanpa melakukan perlawanan (Bellamy, 1997).
e.
Masalah psikososial juga dapat menjadi
faktor penyebab terjunnya anak-anak ke dunia kerja, seperti: dipaksa orang tua,
perilaku salah orang tua, mencari pengalaman, suasana rumah yang kurang baik,
dan sebagainya (Pemetaan dan Survei Anak Jalanan 1999).
Eksploitasi terhadap pekerja anak dapat menimbulkan
berbagai gangguan pada anak, baik fisik maupun mental. Myers menggambarkan
beberapa aspek eksploitasi anak yang dapat mengancam tumbuh kembang anak, yaitu
terganggunya:
a.
Pertumbuhan fisik, termasuk kesehatan
secara menyeluruh, koordinasi, kekuatan, penglihatan, dan pendengaran.
b.
Pertumbuhan kognitif, termasuk melek
huruf, melek angka, dan memperleh pengetahuan yang diperlukan untuk kehidupan
normal.
c.
Pertumbuhan emosional, termasuk harga
diri, ikatan keluarga, perasaan dicintai dan diterima secara memadai.
d.
Pertumbuhan sosial dan moral termasuk
rasa identitas kelompok, kemauan untuk bekerja sama dengan orang lain, dan
kemampuan untuk membedakan yang benar dan yang salah.
Melihat jenis pekerjaan anak-anak yang
dieksploitasi di Indonesia, maka dapat dipastikan dampak yang disebutkan diatas
juga dapat mengancam pekerja anak di Indonesia. Pekerja di Jermal misalnya
bukan hanya menggunakan segenap tenaganya, tetapi juga terancam jiwanya. Kerja
fisik yang berat selama bertahun-tahun dapat menghambat perawatan fisik anak-anak
hingga 30% dari potensi biologis mereka, karena mereka mengeluarkan cadangan
stamina yang harus bertahan hingga masa dewasa.
Beban kerja yang berat, siksaan dan tekanan psikis
yang dirasakan anak-anak yang bekerja di Jermal, membuat anak-anak tersebut
putus asa. Mereka nekad melarikan diri dengan berenang sejauh 12 mil untuk
menuju pantai dengan resiko tinggi. Disektor jasa terutama hotel dan hiburan,
merasa harus melayani para pelanggan yang kebanyakan orang dewasa, sehingga
mungkin berpeluang untuk mengalami rayuan seksual. Sedangkan dipabrik-pabrik
atau perkebunan, potensi kekerasan seksual dan fisik, terutama bagi pekerja
anak perempuan, bertambah bila mereka bekerja lembur di malam hari, dan bila tinggal
dalam pengawasan mandor pria dewasa. UNICEF telah menerapkan beberapa kriteria
pekerja anak yang eksploitatif, yang bila menyangkut:
a.
Kerja penuh waktu pada umur yang terlalu
dini;
b.
Terlalu banyak waktu yang digunakan
untuk bekerja;
c.
Pekerjaan yang menimbulkan tekanan
fisik, sosial dan psikologis;
d.
Upah yang tidak mencukupi;
e.
Tanggung jawab yang terlalu banyak;
f.
Pekerjaan yang menghambat akses pada
pendidikan;
g.
Pekerjaan yang mengurangi martabat dan
harga diri anak, seperti: perbudakan atau pekerjaan kontrak paksa dan
eksploitasi seksual;
h.
Pekerjaan yang merusak perkembangan
sosial serta psikologis.
Untuk mencegah terjadinya eksploitasi terhadap
pekerja anak, Indonesia mempunyai perangkat hukum, yaitu Surat Edaran Menteri
Tenaga Kerja Nomor. SE-12/M/BW/1997, yang antara lain menuat peraturan mengenai
tugas-tugas yang tidak dapat ditolerir untuk diberikan kepada pekerja anak,
yaitu:
a.
Mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan
pertambangan dan penggalian;
b.
Segala jenis pekerjaan yang melibatkan
kontak langsung dengan api (termasuk pengelasan);
c.
Segala pekerjaan yang mengharuskan
menyelam kedalam laut;
d.
Segala pekerjaan yang melibatkan kontak
langsung dengan peralatan berat, listrik, dan alat potong;
e.
Mengangkat dan membawa barang-barang
berat;
f.
Pekerjaan konstruksi dan penghancuran;
g.
Segala jenis pekerjaan yang melibatkan
kontak langsung dengan bahan-bahan kimia/substansi yang berbahaya;
h.
Segala jenis pekerjaan yang berhubungan dengan
pelacuran dan pornografi;
i.
Segala jenis pekerjaan yang berhubungan
dengan produksi dan penjualan minuman keras.
Sekalipun Indonesia telah mempunyai
perangkat hukum, ternyata masih banyak anak-anak yang diperlakukan secara
eksploitatif sebagaimana kriteria yang ditetapkan UNICEF diatas. Fenomena anak-anak
bekerja di Jermal Medan merupakan salah satu contoh. Jermal merupakan unit
bangunan tempat penangkapan ikan, dibangun ditengah perairan Selat Malaka,
berada disepanjang panjang timur Sumatera Utara. Letaknya tidak kurang dari 6-8
mil dari pantai, terisolir dari komunitas, komunikasi dan nyaris tanpa
transportasi. Sofyan (1997) menyebutkan bahwa pekerja di Jermal dapat dikatakan
potret kerja paksa yang masih dijumpai di Indonesia.
4.
Pilihan-Pilihan Kebijakan
Salah
satu kekhawatiran yang muncul akibat cepatnya anak-anak terjun dalam pasar
tenaga kerja adalah sebagaimana diistilahkan Oscar Lewis, yaitu terjadinya
“budaya kemiskinan”. Bellamy (1997) menyebutkan bahwa pekerja anak akan
terperangkap dalam “lingkaran setan”, karena anak-anak yang bekerja di usia
dini, yang biasanya berasal dari keluarga miskin, dengan pendidikan, yang terabaikan,
akan tumbuh menjadi seorang dewasa yang
terjebak dalam pekerjaan yang tidak terlatih, dengan upah yang sangat buruk.
Anak-anak ini pada gilirannya akan kembali “melahirkan” anak-anak miskin, yang
besar kemungkinannya menjadi pekerja anak dan tidak punya kesempatan luas untuk
mendapatkan pendidikan yang memadai.
Dalam
menyikapi permasalahan eskploitasi pekerja anak di Indonesia, maka ada beberapa
alternatif kebijakan guna mengatasi masalah tersebut, antara lain:
a.
Membebaskan uang sekolah bagi anak-anak
terutama yang berasal dari keluarga miskin serta memberikan perlengkapan
sekolah.
b.
Jenis pendidikan tidak harus pendidikan
formal, terutama bagi pekerja anak yang telah putus sekolah, tetapi dapat
berbentuk keterampilan seperti kursus menjahit, kursus montir dan sebagainya.
c.
Undang-Undang Ketenagakerjaan yang
sekarang berlaku, sesungguhkan dapat diartikan bahwa Pemerintah telah melegalkan
pekerja anak. Untuk menghindari eksploitasi berdasarkan upah maka sebaiknya
Pemerintah membuat batasan upah terendah bagi anak-anak.
d.
Tingkat pendidikan kepala rumah tangga
pekerja anak yang rendah mempunyai pengaruh bagi timbulnya pekerja anak. Oleh
karena itu, pemberian informasi melalui lembaga-lembaga di lingkungannya dengan
melibatkan tokoh agama atau tokoh masyarakat adalah sangat penting.
e.
Anak-anak perempuan perlu mendapat
perhatian yang serius, sebab anak-anak tersebut adalah calon ibu bagi generasi
berikutnya.
f.
Memberikan kredit lunak bagi pengusah
kecil, membenahi sistem pemasaran produk pertanian dan industri kecil guna
mengatasi kemiskinan sebagai penyebab utama pekerja anak.
g.
Pekerja anak sulit ditangani bila
permasalahannya dilakukan oleh berbagai instansi yang dilakukan dengan
pendekatan yang berbeda. Oleh karena itu, alangkah baiknya bila pemerintah membuat
instansi sendiri yang khusus menangani permasalahan anak-anak, termasuk pekerja
anak.
Setelah memaparkan beberapa alternatif kebijakan
guna mengatasi permasalahan pekerja anak, maka kemudian dipilih alternatif
kebijakan terbaik, antara lain:
a.
Membebaskan uang sekolah bagi anak-anak
terutama yang berasal dari keluarga miskin merupakan langkah yang tepat,
meskipun hal ini tidak cukup untuk merangsang atau mempertahankan anak-anak
tersebut untuk tetap sekolah. Oleh karena itu perlu disertai dengan memberikan
berbagai keperluan lain seperti: seragam, buku-buku, alat tulis, dan
sebagainya.
b.
Jenis pendidikan tidak harus pendidikan
formal, terutama bagi pekerja anak yang telah putus sekolah, tetapi dapat
berbentuk keterampilan, seperti: kursus menjahit, kursus montir, kursus
elektronik, dan sebagainya yang siap pakai.
c.
Pemerintah sebaiknya membuat batasan
upah terendah bagi anak-anak. Hal itu sangat mendesak untuk diberlakukan karena
Undang-Undang Ketenagakerjaan yang sekarang berlaku, sesungguhnya dapat
diartikan bahwa pemerintah telah melegalkan pekerja anak. Maka untuk
menghindari eksploitasi anak berdasarkan upah maka perlu diatur jam kerja dan
upah buruh anak harus segera dibenahi.
5.
Rekomendasi
a.
Upaya penanggulangan masalah pekerja
anak perlu dilakukan secara terpadu antara sektor di pusat dan di daerah.
Penanggulangan pekerja anak merupakan dilema pemerintah. Menghapus seluruh
pekerja anak dalam jangka waktu dekat, dengan kondisi perekonomian negara
seperti sekarang ini, tentunya hampir mustahil. Akan tetapi, bukan berarti pemerintah
tidak dapat berbuat apa-apa, karena dapat dibuat prioritas penanggulangannya.
b.
Masalah yang paling mendesak untuk
diintervensi adalah eksploitasi pekerja anak, sehingga harus dimasukkan sebagai
salah satu program jangka pendek pemerintah. Mengingat pekerja anak yang
dieksploitasi adalah buruh, maka tindakan pendekatan terhadap pengusaha/majikan
harus segera dilakukan, sebelum melakukan tindakan hukum.
c.
Dalam jangka pendek, agenda pendampingan
anak (advokasi anak) masih tetap relevan dilakukan. Program pendampingan bukan
semata-mata ditujukan untuk membantu pekerja anak mengatasi masalah mereka
selama bekerja, melainkan lebih ditujukan untuk mengangkat dan mendewasakan
pekerja anak, baik dari segi pengembangan kualitas kerja (to develop skill) maupun pengembangan pribadi sebagai manusia (to develop personality).
d.
Dalam jangka panjang perlu dibuat
program untuk menghapuskan pekerja anak, terutama yang merugikan anak-anak itu
sendiri, baik secara fisik maupun psikis. Anak-anak yang berasal dari rumah
tangga miskin, mempunyai kepala keluarga yang berpendidikan rendah, bekerja di
sektor pertanian dan sektor informal dapat dijadikan prioritas dalam program
jangka panjang ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Suharto, Edi. 2008. Analisis Kebijakan Publik (Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan
Kebijakan Sosial). Cet-4. Bandung: Alfabeta.
Sofyan, Ahmad. 1997. Kompleksitas Masalah Pekerja Anak,
Populasi Vol.8 Nomor 2 Tahun 1997.
Usman, Hardius dan Nachrowi D.N. 2004. Pekerja Anak Di Indonesia, Kondisi,
Determinan, dan Eksploitasi. Jakarta: Grasindo.